Dinamika industri asuransi Indonesia memasuki periode penuh tantangan menjelang akhir 2025. Mulai dari melambatnya pertumbuhan premi, lonjakan biaya medis, perubahan perilaku konsumen, meningkatnya permintaan perlindungan syariah, hingga tekanan regulasi permodalan—seluruh faktor ini menunjukkan peta risiko yang semakin kompleks di sektor keuangan dan proteksi nasional. Di sisi lain, kasus di lapangan seperti mobil yang rusak akibat pohon tumbang saat cuaca ekstrem juga menegaskan pentingnya edukasi polis bagi publik, terutama terkait batasan jaminan dan perluasan perlindungan. Dalam laporan ini, kami merangkum tujuh perkembangan utama di industri asuransi Indonesia, sekaligus memberikan perspektif risiko, implikasi bisnis, dan urgensi penguatan manajemen risiko bagi perusahaan maupun individu.
Premi Asuransi Umum Melambat! AAUI Ungkap Penyebab Target 2025 Tidak Tercapai
Industri asuransi umum Indonesia mencatat pendapatan premi sebesar Rp 84,77 triliun hingga kuartal III-2025, tumbuh 6,3%. Meski positif, angka ini jauh dibawah target awal tahun yang diproyeksikan 8%–10%. Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menegaskan bahwa realisasi ini belum memenuhi ekspektasi, terutama dibandingkan tahun lalu yang mencapai pertumbuhan 18%.
Prospek hingga akhir tahun pun masih sulit diprediksi karena banyak indikator ekonomi dan risiko yang mempengaruhi performa industri.
AAUI mengidentifikasi tiga lini bisnis utama sebagai penopang pertumbuhan premi:
- Asuransi harta benda naik Rp 1,27 triliun
- Asuransi kesehatan naik Rp 1,055 triliun
- Asuransi kredit naik Rp 1,278 triliun
Secara komposisi, asuransi properti menjadi kontributor terbesar dengan porsi 29,2%, disusul kendaraan bermotor 16,7%, asuransi kredit 16%, dan kesehatan 9,5%.
Namun beberapa lini masih menekan total pertumbuhan. Premi kendaraan bermotor turun 4%, sementara premi asuransi kredit hanya naik moderat 5,4%.
Di sisi klaim, industri membayar Rp 35,03 triliun, naik 4,9% dari tahun lalu. Klaim terbesar berasal dari asuransi kredit (Rp 11,89 triliun) dan kesehatan (Rp 6,38 triliun), yang masing-masing tumbuh signifikan.
Melambatnya pertumbuhan premi sekaligus kenaikan klaim menunjukkan tantangan serius bagi industri asuransi umum menjelang akhir 2025.
Meski Wisata LN Turun, Pembelian Asuransi Perjalanan Meledak 400%! Ada Apa dengan Turis Indonesia?
Oona Insurance Indonesia mencatat lonjakan lebih dari 400% pembelian asuransi perjalanan internasional sepanjang Januari–Oktober 2025. Ironisnya, peningkatan ini terjadi saat jumlah wisatawan Indonesia yang bepergian ke luar negeri justru turun 5,24% menurut data BPS. Fenomena ini menunjukkan perubahan perilaku konsumen: bepergian tanpa proteksi kini dianggap terlalu berisiko.
Lonjakan permintaan banyak dipicu rencana liburan akhir tahun, meningkatnya kesadaran risiko perjalanan, serta kebutuhan perlindungan yang lebih komprehensif. Wisatawan kini tak lagi mencari polis termurah, tetapi memilih manfaat yang mencakup biaya medis darurat, delay penerbangan, kehilangan bagasi, hingga pembatalan perjalanan.
Negara-negara Schengen, Jepang, Singapura, dan Malaysia menjadi tujuan dengan kontribusi paling besar. Kerja sama Oona dengan VFS Global juga ikut mendorong kenaikan penjualan karena pemohon visa dapat membeli asuransi langsung di pusat aplikasi visa Schengen.
Oona pun menyesuaikan produk mereka untuk perjalanan domestik dan internasional, mengikuti preferensi konsumen yang makin beragam.
Chief Marketing Officer Oona Insurance Indonesia, Prashant Shetty, menegaskan komitmen perusahaan: membantu masyarakat bepergian dengan lebih percaya diri. “Kami ingin pelanggan fokus pada pengalaman, bukan kekhawatiran,” ujarnya.
Sumber: https://wartaekonomi.co.id/read590840/oona-catat-lonjakan-asuransi-perjalanan-hingga-400
Asuransi Syariah Melesat! Kenapa Banyak Warga Indonesia Beralih ke Proteksi Berbasis Tolong-Menolong?
Asuransi umum syariah semakin menjadi pilihan masyarakat Indonesia, terutama di tengah ketidakpastian hidup dan meningkatnya kebutuhan proteksi aset. Dengan populasi Muslim mencapai 87% atau 229,62 juta jiwa, permintaan terhadap produk asuransi berbasis prinsip syariah terus meningkat. Hingga kuartal I 2025, kontribusi premi asuransi syariah mencapai 8,45% dari total premi industri, menunjukkan pertumbuhan signifikan dari tahun ke tahun.
Berbeda dengan sistem konvensional, asuransi syariah berlandaskan nilai ta’awun (tolong-menolong) dan risk sharing, bukan risk transfer. Sistem ini diatur melalui DSN-MUI Fatwa No. 21/2021 dan UU No. 40/2014, memastikan pengelolaan dana bebas dari unsur maysir, gharar, dan riba. Peserta menyisihkan sebagian kontribusinya ke Dana Tabarru’, yang digunakan untuk membantu peserta lain saat terjadi musibah—wujud nyata solidaritas finansial.
Menariknya, asuransi syariah bersifat universal, sehingga dapat diikuti siapa pun termasuk non-Muslim. Produk ini cocok bagi individu yang ingin melindungi keluarga, aset, atau usaha dengan cara yang etis dan transparan.
Agar mendapatkan manfaat maksimal, calon peserta perlu memahami kebutuhan perlindungan, menyesuaikan premi dengan anggaran, memilih perusahaan berreputasi baik, serta membaca polis secara menyeluruh. Dengan pendekatan etis dan berbasis kebersamaan, asuransi syariah diyakini menjadi solusi proteksi yang bukan hanya aman, namun juga membawa keberkahan.
Industri Asuransi Terancam Guncang 2026? AAUI Minta OJK Tunda Kenaikan Modal Minimum!
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) secara resmi meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan relaksasi waktu terkait pemenuhan kenaikan modal minimum perusahaan asuransi dan reasuransi sesuai POJK 23/2023 yang akan berlaku pada 2026. Permintaan ini disampaikan melalui surat berisi kajian akademis yang diberikan saat perhelatan Indonesia Rendezvous 2025.
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, menjelaskan bahwa permohonan tersebut bukan upaya menolak regulasi, melainkan permintaan perpanjangan waktu karena kondisi industri saat ini belum sepenuhnya siap. Pemetaan AAUI menunjukkan masih ada sekitar 5–10 perusahaan anggota yang belum mencapai ekuitas minimum yang dipersyaratkan.
AAUI juga menggandeng dua asosiasi lain—AAJI dan AASI—untuk menyusun kajian serupa. Budi menegaskan bahwa perusahaan harus tetap memperkuat fundamental bisnis, seperti melakukan efisiensi dan mengevaluasi portofolio, sembari menunggu respons resmi OJK.
Di sisi lain, OJK menegaskan belum ada rencana memberikan relaksasi. Kepala Eksekutif Pengawas PPDP, Ogi Prastomiyono, menekankan bahwa regulasi ini penting untuk memperkuat kesehatan finansial dan ketahanan industri. Hingga kini, OJK tetap berkomitmen menjalankan kebijakan permodalan secara konsisten tanpa penundaan.
Mobil Tertimpa Pohon Saat Hujan? Hati-Hati, Klaim Asuransi Bisa Ditolak! Ini Penjelasan Lengkapnya
Insiden pohon tumbang kembali terjadi di Jakarta. Sebuah Toyota Calya rusak parah setelah tertimpa pohon sekitar pukul 11.00 WIB, Kamis (20/11/2025), sebagaimana dilaporkan TMC Polda Metro Jaya. Cuaca ekstrem belakangan ini—hujan deras hingga angin kencang—membuat risiko kecelakaan di jalan semakin tinggi. Namun, pertanyaannya: apakah kerusakan akibat pohon tumbang bisa diklaim ke asuransi?
Laurentius Iwan Pranoto, Head of Public Relation Asuransi Astra, menjelaskan bahwa risiko bencana alam termasuk kategori yang sulit diprediksi. Karena itu, penting bagi pemilik kendaraan memiliki proteksi yang tepat. Namun, banyak pemilik mobil tidak menyadari bahwa polis standar asuransi kendaraan ternyata tidak menanggung kerusakan akibat bencana alam.
Merujuk PSAKBI Pasal 3 ayat 3.2, kerusakan akibat bencana alam—termasuk pohon tumbang—masuk dalam pengecualian jaminan. Artinya, klaim tidak bisa diproses jika pemilik hanya memiliki polis standar tanpa perluasan jaminan.
Klaim baru dapat diterima jika sejak awal pemilik telah menambahkan perluasan jaminan bencana alam dalam polis. Jika baru membeli perluasan setelah kejadian, klaim otomatis ditolak.
Insiden ini menjadi pengingat penting bagi pemilik mobil untuk memastikan polisnya sudah mencakup perlindungan menyeluruh, terutama di musim hujan.
Biaya Medis Dunia Meledak 2026! Asia Pasifik Tertinggi, Indonesia Justru Turun — Ada Apa?
Willis Towers Watson (WTW) memproyeksikan biaya medis global kembali melonjak pada 2026, mencapai kenaikan 10,3%, melanjutkan tren inflasi layanan kesehatan yang menekan industri asuransi dan perusahaan di seluruh dunia. Asia Pasifik tercatat sebagai wilayah dengan lonjakan tertinggi, diprediksi mencapai 14%, mengungguli Amerika Latin, Timur Tengah & Afrika, Amerika Utara, hingga Eropa.
Laporan 2026 Global Medical Trends Survey menunjukkan bahwa lebih dari separuh perusahaan asuransi global telah mengantisipasi kenaikan ini, dan 55% lainnya memperkirakan tren inflasi medis akan bertahan dalam tiga tahun ke depan. Faktor utama pemicu inflasi medis mencakup teknologi medis baru, kemunduran layanan kesehatan publik, biaya farmasi yang melonjak, serta praktik penipuan dan pemborosan dalam sistem kesehatan.
Meski kawasan lain mengalami kenaikan, Indonesia justru menunjukkan perbaikan. Inflasi medis nasional diproyeksikan turun menjadi 12,9% pada 2026 dari lonjakan 16,9% pada 2025. Penurunan ini didorong perbaikan rasio klaim dan peninjauan tarif oleh perusahaan asuransi sepanjang 2024. Namun tantangan tetap besar, terutama karena 90% bahan baku farmasi masih bergantung pada impor.
OJK kini menyiapkan regulasi baru, termasuk mandat cost sharing, untuk mencegah kolapsnya perusahaan asuransi dan menjaga stabilitas premi.
Premi Asuransi Jiwa Anjlok 3 Bulan Beruntun! Kepercayaan Publik Runtuh, Industri Terancam Kontraksi hingga 2026
Industri asuransi jiwa kembali berada dalam tekanan berat akibat hilangnya kepercayaan publik setelah serangkaian kasus gagal bayar yang belum terselesaikan, mulai dari Jiwasraya, Bumiputera, Kresna Life hingga WanaArtha. Dampak scarring effect membuat masyarakat semakin enggan membeli produk proteksi, terutama unit-linked yang paling terpengaruh.
Dosen Asuransi Syariah UIN Banten, Wahju Rohmanti, menilai bahwa tanpa strategi pemulihan kepercayaan dan modernisasi pemasaran, industri akan kembali menghadapi kontraksi pendapatan premi hingga kuartal I/2026. Hal ini terlihat dari data OJK yang mencatat premi asuransi jiwa turun tiga bulan berturut-turut: Juli -0,84% YoY, Agustus -1,21%, dan September -2,06% menjadi Rp132,85 triliun.
Menurut Wahju, posisi asuransi sebagai kebutuhan tersier membuat masyarakat menahan pembelian, kecuali asuransi perjalanan yang biasanya naik di akhir tahun. Namun, pengamat asuransi Dedy Kristianto memberikan pandangan sedikit lebih optimistis dengan potensi rebound moderat pada kuartal IV/2025 karena faktor musiman.
Dedy menyarankan empat strategi agar industri tetap tumbuh: menawarkan premi terjangkau, meningkatkan edukasi proteksi, menguatkan kanal digital serta bancassurance, dan menyederhanakan produk agar mudah dipahami. Tanpa langkah konkret, industri asuransi jiwa terancam makin tertinggal di tengah kondisi ekonomi yang ketat dan risk appetite yang rendah.
—
Rangkaian berita ini memperlihatkan bahwa industri asuransi sedang bergerak di antara dua tekanan besar: meningkatnya risiko dan menurunnya daya serap pasar. Premi melambat, klaim meningkat, biaya medis melonjak, sementara kepercayaan publik—khususnya di sektor asuransi jiwa—masih rapuh. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar, mulai dari lonjakan permintaan asuransi perjalanan, pertumbuhan asuransi syariah, hingga kebutuhan proteksi kendaraan dan properti akibat cuaca ekstrem. Ke depan, perusahaan asuransi perlu memperkuat fondasi bisnis melalui inovasi produk, edukasi publik, efisiensi operasional, serta kolaborasi dengan regulator. Bagi masyarakat dan pelaku usaha, memahami risiko dan memilih proteksi yang tepat bukan hanya kebutuhan finansial, tetapi juga strategi keberlanjutan. Dengan manajemen risiko yang semakin matang, industri asuransi dapat tetap menjadi pilar stabilitas di tengah perubahan ekonomi dan lingkungan yang cepat.
—
JANGAN BUANG WAKTU ANDA DAN AMANKAN FINANCIAL DAN BISNIS ANDA DENGAN ASURANSI YANG TEPAT.
HOTLINE L&G 24 JAM: 0811-8507-773 (PANGGILAN – WHATSAPP – SMS)
Website: lngrisk.co.id
Email: halo@lngrisk.co.id
—

