Liga Asuransi – Industri asuransi di Indonesia tengah menghadapi dinamika besar dengan berbagai kebijakan, tren, dan regulasi terbaru yang bertujuan memperkuat ketahanan sektor keuangan sekaligus melindungi masyarakat sebagai nasabah. Mulai dari kenaikan premi asuransi kesehatan, kewajiban spin-off asuransi syariah, hingga rencana program penjaminan polis oleh LPS, semua ini menunjukkan adanya transformasi mendasar di industri asuransi. Di balik isu yang kerap dipersepsikan memberatkan, seperti co-payment, sebenarnya terdapat upaya serius regulator dan pelaku industri untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan bisnis dan kepentingan nasabah. Agar setiap pihak dapat memahami dan mengambil keputusan terbaik, peran broker asuransi menjadi sangat penting sebagai pendamping dan penasihat yang netral. Tulisan ini dirangkum oleh L&G Insurance Broker, perusahaan broker asuransi yang siap membantu setiap kebutuhan asuransi bisnis dan industri Anda.
Premi Asuransi Kesehatan Diramal Naik Tahun Depan, Ini 3 Alasan Utamanya!
Premi asuransi kesehatan diperkirakan akan mengalami kenaikan signifikan pada tahun depan. Faktor utama di balik tren ini adalah lonjakan inflasi medis yang terus meningkat. Selain itu, Julian Noor, pakar asuransi dan Komisaris Utama Indonesia Re, menyoroti adanya faktor lain. Menurutnya, semakin sedikitnya perusahaan yang menjual asuransi kesehatan membuat persaingan berkurang.
Perusahaan yang masih bertahan adalah yang menerapkan prudent underwriting atau manajemen risiko yang lebih hati-hati. “Dia harus melihat inflasi dari biaya kesehatan ini harus dikonversi ke premi, harus ada kenaikan,” tegas Julian. Jika tidak ada penyesuaian premi, perusahaan akan menghadapi masalah finansial.
Julian juga menyoroti mahalnya biaya kesehatan di Indonesia, yang bahkan lebih mahal dibanding negara tetangga seperti Malaysia. Ini juga menjadi pemicu utama kenaikan premi.
Peran Dewan Penasehat Medis dan Data Klaim AAJI
Untuk mengatasi masalah klaim yang membengkak dan tidak wajar, Julian mengungkapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan asuransi membentuk Dewan Penasehat Medis. Dewan ini akan diisi oleh dokter dan dokter spesialis untuk mendeteksi klaim yang meragukan.
Di sisi lain, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat adanya lonjakan pendapatan premi asuransi kesehatan. Berdasarkan data AAJI, premi untuk produk tradisional naik 25,3% YoY menjadi Rp19,84 triliun pada Desember 2024. Secara rata-rata, total pendapatan premi asuransi kesehatan telah meningkat 15,9% per tahun dalam tiga tahun terakhir.
Meski premi naik, OJK mencatat rasio klaim kesehatan justru menyusut. Hal ini menunjukkan bahwa penyesuaian tarif asuransi yang dilakukan perusahaan berhasil meredam dampak lonjakan klaim akibat inflasi medis.
Dengan adanya kenaikan premi yang tak terhindarkan, penting bagi konsumen untuk memahami bahwa ini merupakan langkah perusahaan asuransi untuk menjaga keberlanjutan bisnisnya dan tetap mampu membayar klaim di masa depan.
Source: https://wartaekonomi.co.id/read578025/ketahanan-finansial-kuat-asuransi-astra-raih-rating-a
Bukan Sembarang Aturan! Pengamat Bongkar Fakta Mengejutkan di Balik Kewajiban Spin-off Asuransi Syariah
Kebijakan pemisahan atau spin-off unit usaha syariah (UUS) yang diamanatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dianggap sebagai langkah strategis pemerintah untuk memajukan industri keuangan syariah. Kebijakan ini mewajibkan unit syariah yang sudah besar untuk memisahkan diri menjadi entitas perusahaan syariah mandiri.
Pengamat industri perasuransian, Erwin Noekman, menilai spin-off ini sebagai “moment of truth”. Ini adalah kesempatan bagi masyarakat untuk melihat perusahaan mana yang benar-benar berkomitmen dan mampu mengembangkan bisnis asuransi syariah. Perusahaan baru hasil spin-off akan lebih mandiri, lebih kreatif dalam menciptakan produk unik, dan punya peluang untuk memperkuat citra di mata publik.
Namun, Erwin juga mengingatkan pentingnya transparansi dan etika. Pengawasan dari Dewan Pengawas Syariah dan Komisaris Independen sangat krusial untuk memastikan pengelolaan perusahaan sesuai dengan kaidah syariah. Jika terjadi ketidaksesuaian, hal itu dapat merusak kepercayaan publik dan menimbulkan citra negatif bagi seluruh industri.
Seleksi Alam dan Permasalahan Skala Bisnis
Sementara itu, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (Stimra), Abitani Taim, melihat kebijakan spin-off ini dari dua sisi. Bagi sebagian perusahaan, ini adalah momentum untuk memperkuat daya saing. Namun, bagi yang lain, ini bisa menjadi proses seleksi alam.
Permasalahan utama yang dihadapi oleh beberapa perusahaan adalah skala bisnis yang belum memadai. Hal ini membuat sulit untuk meyakinkan pemegang saham bahwa potensi bisnis syariah mereka menjanjikan. Meskipun begitu, Abitani optimistis bahwa spin-off akan mendorong pertumbuhan perusahaan asuransi syariah yang murni, serta didukung oleh reputasi grup yang kuat, akan semakin meningkatkan daya saing.
Sebagai informasi, OJK mencatat per Desember 2023, sudah ada 41 perusahaan asuransi dan reasuransi yang telah menyampaikan rencana pemisahan UUS. OJK menargetkan 18 UUS akan melakukan spin-off pada tahun 2025, sementara 8 UUS lainnya akan mengalihkan portofolio bisnis mereka ke perusahaan syariah lain.
Wajib Tau! Ini Alasan Asuransi Kesehatan Kantor Jauh Lebih Baik dari BPJS
Pakar asuransi dan praktisi senior Julian Noor menyampaikan pandangan menarik terkait asuransi kesehatan. Menurutnya, mendapatkan asuransi kesehatan dari perusahaan tempat bekerja jauh lebih menguntungkan ketimbang membeli secara individual. Pandangan ini didasari pengalamannya selama hampir 40 tahun di industri asuransi.
Julian menjelaskan, perusahaan memiliki kekuatan negosiasi yang lebih besar. Dengan jumlah karyawan yang banyak, mereka bisa mendapatkan premi yang lebih baik dan layanan yang optimal dari perusahaan asuransi. “Asuransi kesehatan itu menurut saya lebih bagus yang meng-cover adalah perusahaan sebetulnya. Kalau individu agak ribet,” katanya.
Julian juga menilai, perusahaan yang baik akan menyediakan asuransi kesehatan bagi karyawannya, sebagai cerminan reputasi dan kepedulian terhadap kesejahteraan pekerja. Hal ini juga berdampak pada produktivitas dan angka klaim yang relatif terjaga. Bahkan, rasio klaim yang rendah ini bisa menjadi alat negosiasi bagi perusahaan untuk meminta penurunan premi saat perpanjangan kontrak.
Tiga Jenis Asuransi Dasar yang Wajib Dimiliki
Selain asuransi kesehatan, Julian juga menyarankan agar masyarakat Indonesia memiliki tiga jenis asuransi dasar untuk perlindungan finansial.
- Asuransi Kecelakaan Diri: Asuransi ini relatif murah dan memberikan perlindungan 24 jam, berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan yang hanya melindungi saat jam kerja.
- Asuransi Kesehatan: Melengkapi perlindungan dasar dari BPJS Kesehatan, asuransi ini penting untuk menjamin biaya pengobatan yang tak terduga.
- Asuransi Jiwa: Asuransi ini bisa menjadi jaring pengaman finansial keluarga. Julian mencontohkan, manfaat asuransi jiwa bisa digunakan untuk menjamin biaya pendidikan anak. “Menjaminnya adalah kalau kemudian kita meninggal di tengah jalan, maka biaya pendidikan anak kita tadi tetap akan digantikan oleh perusahaan asuransi sampai kemudian dia lulus,” jelasnya.
Dengan memiliki ketiga asuransi ini, masyarakat dapat merasa lebih tenang dan terlindungi dalam menghadapi berbagai risiko hidup.
Jangan Kaget! LPS Ungkap Batas Maksimal Penjaminan Polis Asuransi, Sampai Rp1 Miliar?
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus mempersiapkan program penjaminan polis asuransi yang dijadwalkan akan mulai berlaku pada tahun 2028. Salah satu poin krusial yang masih didiskusikan adalah batas nilai penjaminan yang akan diberikan.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa batas maksimal penjaminan polis masih dalam tahap kajian. Diskusi ini mengacu pada pengalaman dari berbagai negara lain. “Ada yang bilang Rp500 juta cukup, tapi ada yang bilang lebih tinggi lagi. Nah, itu yang lebih tinggi lagi itu mungkin antara Rp500-an hingga Rp1 miliar,” ujar Purbaya.
Menurutnya, pembahasan ini bertujuan untuk menemukan nilai yang paling ideal dan sesuai dengan kondisi di Indonesia.
Peraturan Sudah Siap, Tunggu Lampu Hijau Pemerintah
Purbaya memastikan, draf rancangan peraturan LPS (RPLPS) terkait penjaminan polis sudah selesai digodok. Tim LPS telah bekerja keras menyusun seluruh aturan, dan kini hanya tinggal menunggu Peraturan Pemerintah (PP) terkait program ini diterbitkan.
Dengan penyusunan yang dilakukan secara paralel, LPS tidak akan butuh waktu lama untuk mengesahkan aturan turunannya. “Begitu PP keluar, seminggu kami sudah siap,” tegas Purbaya.
Tantangan SDM dan Strategi LPS
Meskipun peraturan sudah rampung, LPS menghadapi tantangan berat dari sisi sumber daya manusia (SDM). Menurut Purbaya, tidak mudah mencari SDM yang mumpuni untuk menjadi regulator di sektor asuransi.
Untuk mengatasi hal ini, LPS telah merekrut 54 orang untuk unit asuransi dan memberikan pelatihan intensif untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi mereka. LPS bahkan sempat merombak sejumlah aturan agar dapat menjaring lebih banyak lulusan yang memiliki keahlian di bidang asuransi.
Penjaminan polis asuransi ini merupakan amanat dari UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Melalui program ini, LPS akan menjamin polis asuransi dalam waktu lima tahun setelah UU disahkan, yaitu pada tahun 2028.
Bukan Memberatkan, Ini Alasan Co-payment Justru Melindungi Nasabah Asuransi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menunda penerapan skema co-payment untuk asuransi kesehatan, yang sebelumnya diatur dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025. Penundaan ini menjadi perhatian Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), yang menilai pentingnya komunikasi yang tepat kepada masyarakat.
Sekretaris AASI, Arry Bagoes Wibowo, menjelaskan bahwa penundaan ini terjadi karena adanya kesan di publik bahwa co-payment akan memberatkan konsumen. Namun, menurut Arry, persepsi ini perlu diluruskan. “Ini yang sebenarnya harus diluruskan,” tegasnya.
Arry melanjutkan, penerapan co-payment justru bertujuan melindungi konsumen. Skema ini membuat nasabah memiliki kesadaran bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya lepas dari biaya saat mengajukan klaim. Hal ini menjadi penting mengingat tingginya inflasi medis dan overtreatment, yang secara langsung membuat premi asuransi kesehatan terus melonjak. Jika tren ini berlanjut tanpa skema co-payment, konsumen bisa terbebani dengan kenaikan premi yang signifikan setiap tahunnya.
Tujuan dan Mekanisme Co-payment
Sebagai informasi, skema co-payment mewajibkan nasabah menanggung sebagian kecil dari total klaim, yaitu 10% dari total klaim, dengan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap.
Aturan ini semula direncanakan berlaku pada 1 Januari 2026. Namun, OJK memutuskan untuk menundanya setelah melakukan Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 30 Juni 2025. Saat ini, OJK dan Komisi XI DPR sedang berkoordinasi untuk menyusun Peraturan OJK (POJK) yang akan menggantikan SEOJK tersebut.
Penundaan ini memberikan kesempatan bagi regulator dan pelaku industri untuk menyempurnakan aturan dan melakukan sosialisasi yang lebih efektif. OJK berharap, dengan adanya co-payment, gejolak klaim dapat diredam sehingga kenaikan harga premi asuransi kesehatan bisa dikendalikan dan tetap terjangkau bagi masyarakat.
Mengapa Asuransi Syariah Belum Jadi Pilihan Utama? Ini Strategi Jitu untuk Melejitkan Pertumbuhannya
Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia (244,7 juta jiwa) dan predikat negara paling religius, memiliki potensi besar untuk menjadi pemimpin ekonomi syariah global. Namun, hingga kini Indonesia masih berada di posisi ketiga dalam Global Islamic Economic Indicator 2023, di bawah Malaysia dan Arab Saudi. Ini menunjukkan adanya celah besar yang perlu diisi, salah satunya melalui pengembangan asuransi syariah.
Meski asuransi syariah memiliki posisi strategis dalam ekosistem ekonomi syariah nasional, perannya masih terbatas. Tingkat literasi dan inklusi asuransi syariah masih sangat rendah, yaitu masing-masing 11,7% dan 1,5%. Premi yang disumbangkan pun masih kecil, hanya 9,3% dari total premi industri pada tahun 2024. Untuk mengubahnya, asuransi syariah harus bertransformasi dari sekadar alternatif menjadi pilihan yang setara dengan asuransi konvensional.
Strategi Transformasi Asuransi Syariah di Indonesia
Berikut adalah lima strategi utama yang dapat mendorong pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia:
- Terapkan Blue Ocean Strategy Selama ini, banyak produk asuransi syariah yang hanya mereplikasi produk konvensional, membuat mereka terjebak dalam persaingan ketat. Untuk keluar dari zona ini, industri asuransi syariah perlu berinovasi dan menyasar segmen pasar yang belum tergarap, seperti asuransi pertanian, asuransi hijau, dan asuransi mikro.
- Sederhanakan Komunikasi dan Terminologi Pendekatan komunikasi harus lebih menekankan aspek universal asuransi syariah. Pengalaman Malaysia menunjukkan bahwa penggunaan bahasa sederhana dalam menjelaskan istilah-istilah syariah terbukti efektif menjangkau masyarakat luas. Dengan demikian, asuransi syariah bisa lebih mudah dipahami oleh semua kalangan, tanpa terkendala istilah yang rumit.
- Manfaatkan Jejaring Komunitas Muslim Indonesia memiliki keunggulan berupa jaringan komunitas Muslim yang sangat luas dan aktif. Mengintegrasikan edukasi asuransi syariah ke dalam kegiatan dakwah, pengajian, dan forum-forum keagamaan bisa menjadi langkah strategis. Selain itu, ekosistem halal yang terus berkembang juga harus menjadikan asuransi syariah sebagai bagian integral dari sistem perlindungan finansial umat.
- Perluas Kanal Distribusi Asuransi syariah tidak bisa lagi hanya mengandalkan kanal distribusi berbasis syariah. Jalinan kemitraan dengan bank konvensional yang memiliki jaringan luas, serta eksplorasi kanal-kanal modern seperti kantor pos, e-commerce, dan branchless banking, akan membuka peluang besar untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
- Atasi Tantangan Harga Persepsi bahwa produk syariah lebih mahal harus diatasi. Industri perlu berinovasi dalam perhitungan aktuaria agar premi asuransi syariah menjadi lebih kompetitif tanpa mengorbankan profitabilitas. Dengan memanfaatkan momentum kebijakan spin-off dan penyesuaian modal, asuransi syariah dapat memperkuat posisinya dan berperan lebih signifikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Dengan langkah-langkah strategis ini, asuransi syariah diharapkan dapat memaksimalkan potensi pasar di Indonesia dan menjadi pilar utama yang menopang perekonomian nasional.
Source: https://finansial.bisnis.com/read/20250815/215/1902786/opini-strategi-membumikan-asuransi-syariah
Bukan Memberatkan, Ini Alasan Co-payment Justru Melindungi Nasabah Asuransi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) yang akan mengatur kegiatan usaha perusahaan asuransi. Aturan ini akan mengelompokkan perusahaan asuransi ke dalam dua kategori berdasarkan ekuitas atau modal, yaitu Kelompok Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1 dan 2.
Menurut Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK, RSEOJK ini merupakan turunan dari POJK No. 23 Tahun 2023 dan POJK No. 36 Tahun 2024. Tujuannya adalah memastikan setiap perusahaan beroperasi sesuai dengan kapasitas keuangannya, sehingga bisa menjaga stabilitas industri dan melindungi konsumen.
Dalam aturan ini, perusahaan KPPE 1 hanya boleh memasarkan produk asuransi dengan risiko sederhana dan nilai pertanggungan yang tidak besar. Sebaliknya, perusahaan KPPE 2 diizinkan untuk memasarkan seluruh jenis produk asuransi.
Modal Minimum dan Penjaminan Polis
RSEOJK ini juga akan mengatur standardisasi lini usaha untuk semua jenis asuransi, baik umum, jiwa, maupun syariah. Standardisasi ini nantinya akan menjadi dasar untuk menentukan batasan lini usaha yang dapat dijamin dalam Program Penjaminan Polis oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan berlaku pada tahun 2028.
Sebagai informasi, perusahaan asuransi di Indonesia memang diwajibkan untuk memenuhi modal minimum secara bertahap. Untuk tahun 2026, modal minimum yang harus dipenuhi adalah Rp250 miliar untuk perusahaan asuransi dan Rp500 miliar untuk reasuransi.
Selanjutnya, pada tahun 2028, pengelompokan KPPE akan berlaku dengan rincian:
- KPPE 1: Modal minimum Rp500 miliar (asuransi) dan Rp1 triliun (reasuransi).
- KPPE 2: Modal minimum Rp1 triliun (asuransi) dan Rp2 triliun (reasuransi).
Aturan ini menjadi langkah strategis OJK untuk memperkuat industri asuransi nasional agar lebih sehat dan berdaya saing, serta memberikan perlindungan yang lebih optimal kepada masyarakat.
—
Industri asuransi di Indonesia tengah menghadapi dinamika besar dengan berbagai kebijakan, tren, dan regulasi terbaru yang bertujuan memperkuat ketahanan sektor keuangan sekaligus melindungi masyarakat sebagai nasabah. Mulai dari kenaikan premi asuransi kesehatan, kewajiban spin-off asuransi syariah, hingga rencana program penjaminan polis oleh LPS, semua ini menunjukkan adanya transformasi mendasar di industri asuransi. Di balik isu yang kerap dipersepsikan memberatkan, seperti co-payment, sebenarnya terdapat upaya serius regulator dan pelaku industri untuk menjaga keseimbangan antara keberlanjutan bisnis dan kepentingan nasabah. Tulisan ini dirangkum oleh L&G Insurance Broker, perusahaan broker asuransi yang siap membantu setiap kebutuhan asuransi bisnis dan industri Anda.