Liga Asuransi – Industri asuransi di Indonesia tengah menghadapi dinamika yang kompleks. Mulai dari fenomena “Rojali-Rohana” yang mencerminkan perubahan perilaku konsumen, penurunan premi pada segmen tertentu, hingga penguatan regulasi dan pengawasan oleh OJK. Di sisi lain, inovasi produk, strategi pemasaran, serta pencapaian prestasi sejumlah perusahaan menjadi bukti bahwa sektor ini tetap memiliki peluang besar untuk tumbuh. Rangkaian berita terkini berikut merangkum isu-isu penting yang mempengaruhi arah perkembangan industri asuransi nasional.
Ini Alasan Asosiasi Asuransi Dukung Skema Co-payment yang Bikin Premi Tetap Murah
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) menyoroti pentingnya komunikasi terkait skema pembagian risiko atau co-payment dalam produk asuransi kesehatan. Sekretaris sekaligus Ketua Bidang Hukum, Kepatuhan, dan Antar Lembaga AASI, R. Arry Bagoes Wibowo, menegaskan bahwa skema co-payment pada asuransi syariah tidak berbeda dengan asuransi konvensional. Menurutnya, hal terpenting adalah bagaimana mengkomunikasikannya kepada publik.
Arry Bagoes menjelaskan, anggapan bahwa co-payment memberatkan konsumen perlu diluruskan. Justru, skema ini berfungsi sebagai pelindung bagi pemegang polis agar tidak menghadapi kenaikan premi tahunan yang terlalu tinggi.
Kenaikan klaim asuransi kesehatan, yang berimplikasi pada kenaikan premi, disebabkan oleh beberapa faktor. Dua di antaranya adalah inflasi medis dan dugaan overtreatment dari pihak rumah sakit. Jika tidak ada skema co-payment, biaya premi bisa terus naik hingga mencapai titik yang memberatkan konsumen.
“Nanti tiap tahun harga produk kesehatan ini akan naik, akan sampai pada satu titik yang konsumen, aduh terlalu mahal ini biayanya,” terang Arry.
OJK Tunda Aturan Co-payment
Sebagai regulator, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menunda pelaksanaan skema co-payment pada produk asuransi kesehatan komersial. Kebijakan ini sebelumnya tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025. Penundaan tersebut diputuskan dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR bersama Ketua Dewan Komisioner OJK pada 30 Juni 2025.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menjelaskan bahwa penundaan ini dilakukan untuk menyerap aspirasi dan memberikan dasar hukum yang lebih kuat. “Dalam rangka penyusunan POJK…, OJK menunda pelaksanaan Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025… sampai diberlakukannya POJK,” ujar Misbakhun.
AASI menyatakan akan mendukung dan mematuhi aturan terkait co-payment yang nantinya akan dikeluarkan oleh regulator. Langkah penundaan ini memberikan waktu bagi semua pihak untuk menyempurnakan aturan dan melakukan sosialisasi yang lebih efektif kepada masyarakat.
Premi Asuransi Jiwa Turun! Ini 5 Jurus Jitu Agar Tumbuh Kembali
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, premi asuransi jiwa per Juni 2025 turun 0,57% secara tahunan (YoY), menjadi Rp87,48 triliun. Penurunan ini dinilai berkaitan erat dengan daya beli masyarakat yang melemah, yang membuat prioritas konsumen bergeser ke produk asuransi dengan premi murah dan manfaat esensial.
Menurut Abitani Taim, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (Stimra), kondisi ini juga diperburuk oleh belum pulihnya iklim investasi. Hal ini berdampak pada menurunnya penjualan produk asuransi jiwa unit-linked yang sebelumnya menjadi andalan industri.
Abitani menyebut tantangan yang dihadapi industri asuransi saat ini sangat kompleks. Mulai dari dinamika ekonomi makro, perubahan regulasi seperti PSAK 117 dan ketentuan ekuitas minimum, hingga inflasi biaya medis yang memicu kenaikan premi asuransi kesehatan. Selain itu, industri juga menghadapi kendala dalam hal keterbatasan produk, kanal distribusi, serta tantangan dari perkembangan teknologi.
5 Strategi Jitu agar Premi Asuransi Jiwa Kembali Tumbuh
Menghadapi tantangan tersebut, Abitani Taim memberikan lima saran strategis bagi perusahaan asuransi:
- Fokus pada Produk Tradisional: Kembali ke produk asuransi tradisional seperti whole life, term life, dan endowment. Produk-produk ini dianggap lebih pasti dan tidak terpengaruh fluktuasi pasar, sehingga lebih menarik bagi konsumen yang mencari stabilitas.
- Perluas Kanal Digital dan Teknologi: Memperluas distribusi melalui kanal digital dan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI). Hal ini dapat mempercepat proses penerimaan polis dan klaim, menciptakan pengalaman yang lebih efisien bagi nasabah.
- Perkuat Kemitraan dengan Bank: Mempererat kolaborasi dengan perbankan melalui skema bancassurance untuk menawarkan produk proteksi murni atau asuransi kesehatan.
- Tingkatkan Edukasi Publik: Melakukan kampanye edukasi yang lebih masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya proteksi jiwa.
- Targetkan Segmen Pasar Khusus: Menciptakan produk yang sesuai dengan segmen dan ceruk pasar (niche market) tertentu untuk menjangkau kebutuhan konsumen yang lebih spesifik.
Saran-saran ini diharapkan dapat membantu industri asuransi jiwa untuk beradaptasi, kembali tumbuh, dan menghadapi tantangan ekonomi yang dinamis.
Kinerja Gemilang Asuransi Astra, Raih Peringkat Tertinggi AM Best 3 Tahun Berturut-turut
PT Asuransi Astra Buana (Asuransi Astra) kembali mengukir prestasi dengan mempertahankan peringkat kredit tertinggi dari lembaga pemeringkat global AM Best. Pencapaian ini, yang diraih selama tiga tahun berturut-turut, diumumkan pada Kamis (7/8/2025) dan menjadi bukti nyata fundamental keuangan yang kokoh dan kinerja operasional yang konsisten.
Asuransi Astra berhasil mendapatkan Financial Strength Rating (FSR) A- (Excellent) dan Long-Term Issuer Credit Rating (LCR) “a-” (Excellent). Tidak hanya itu, perusahaan juga meraih Indonesian National Scale Rating (NSR) aaa.ID (Exceptional), semuanya dengan outlook stabil. AM Best menilai kekuatan neraca perusahaan sebagai “sangat kuat”, yang didukung oleh permodalan berbasis risiko (risk-adjusted capitalization) di level “terkuat” per 31 Desember 2024.
Efisiensi dan Pertumbuhan yang Solid
Kinerja operasional Asuransi Astra selama lima tahun terakhir (2020–2024) juga dinilai “kuat”. Hal ini tercermin dari rata-rata combined ratio yang mencapai 87,9% dan Return on Equity (ROE) sebesar 17,4%. Pada tahun 2024 saja, combined ratio berada di angka 87,2%, menunjukkan efisiensi underwriting yang terjaga berkat dukungan portofolio bisnis dari Grup Astra.
Maximiliaan Agatisianus, Presiden Direktur Asuransi Astra, menyampaikan bahwa pencapaian ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang perusahaan. “Kami ingin terus tumbuh dan berkembang melalui peningkatan kualitas produk dan layanan, serta memperkuat kepercayaan pelanggan dan pemangku kepentingan,” ujarnya.
Meskipun demikian, AM Best mencatat profil risiko investasi perusahaan berada di level moderat, dengan sebagian besar eksposur pada obligasi dan reksa dana domestik. Tantangan utama yang disoroti adalah risiko kredit mitra akibat eksposur terhadap reasuransi domestik yang belum memiliki peringkat internasional.
Secara keseluruhan, peringkat yang diberikan AM Best menegaskan ketahanan keuangan dan efektivitas manajemen risiko Asuransi Astra di tengah kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan persaingan ketat di industri asuransi nasional.
Source: https://wartaekonomi.co.id/read578025/ketahanan-finansial-kuat-asuransi-astra-raih-rating-a
AAJI Dukung Penuh Rencana OJK, KPPE Diharapkan Perkuat Industri Asuransi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun Rancangan Surat Edaran OJK (SEOJK) terkait pengelompokan perusahaan asuransi berdasarkan ekuitas, atau yang dikenal dengan Kelompok Perusahaan Perasuransian Berdasarkan Ekuitas (KPPE). Rencana ini mendapat sambutan positif dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
Rancangan SEOJK ini akan mengatur standardisasi lini usaha bagi produk asuransi umum, asuransi umum syariah, asuransi jiwa, dan asuransi jiwa syariah. Perusahaan dengan ekuitas yang lebih kecil (KPPE 1) hanya akan diizinkan memasarkan produk dengan risiko sederhana dan nilai pertanggungan tidak besar. Sementara itu, perusahaan dengan ekuitas lebih besar (KPPE 2) dapat memasarkan seluruh produk asuransi.
Togar Pasaribu, Direktur Eksekutif AAJI, menilai kebijakan ini sangat relevan untuk memperkuat struktur permodalan dan manajemen risiko. Menurutnya, pembatasan kegiatan usaha ini penting untuk mencegah perusahaan mengambil risiko yang tidak sebanding dengan modalnya. Hal ini pada akhirnya akan menjaga keberlanjutan perusahaan dan melindungi pemegang polis.
Tantangan dan Solusi Peningkatan Ekuitas
Togar tidak memungkiri bahwa saat ini, akses permodalan bagi industri asuransi jiwa berpotensi terbatas karena investor menjadi lebih selektif di tengah ketidakpastian ekonomi. Meskipun demikian, AAJI mendorong perusahaan yang menghadapi tantangan pemenuhan ekuitas untuk melakukan merger atau akuisisi.
Langkah ini diharapkan dapat menciptakan iklim industri yang lebih sehat dan berdaya saing. Data per Maret 2025 menunjukkan sudah ada 42 perusahaan asuransi jiwa yang memenuhi ketentuan modal minimum Rp 250 miliar untuk tahun 2026. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah, mengingat masih ada waktu sekitar satu tahun lagi sebelum tenggat waktu.
Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 mengatur persyaratan ekuitas minimum secara bertahap. Tahap pertama, perusahaan asuransi jiwa harus memiliki ekuitas minimal Rp 250 miliar pada 31 Desember 2026. Selanjutnya, pada 31 Desember 2028, perusahaan KPPE 1 wajib memiliki ekuitas minimal Rp 500 miliar, sedangkan KPPE 2 minimal Rp 1 triliun.
Kebijakan ini menjadi langkah strategis dari OJK untuk memastikan industri asuransi di Indonesia memiliki pondasi yang kuat, stabil, dan mampu memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat.
Jumlah Agen Asuransi Syariah Melebihi Konvensional, Ada Apa?
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) melaporkan sebuah fenomena menarik di tengah tren penurunan jumlah agen asuransi secara keseluruhan. Menurut data AASI, jumlah agen asuransi syariah per Juni 2025 masih sangat besar, bahkan mendominasi industri.
Edi Yoga Prasetyo, Ketua Kanal Distribusi AASI, mengungkapkan bahwa jumlah agen asuransi syariah mencapai sekitar 137 ribu orang. Angka ini merepresentasikan 51% dari total agen asuransi nasional yang berjumlah kurang lebih 270 ribu. “Jumlahnya (agen asuransi syariah) cukup signifikan kalau dibandingkan dengan total jumlah industri,” ujar Edi dalam acara Press Conference SICA 2025.
Penurunan Agen Asuransi Dipicu Aturan Unitlink
Di sisi lain, industri asuransi secara keseluruhan mengalami penurunan jumlah agen. Yurivanno Gani, Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Asuransi Jiwa Syariah AASI, mencatat bahwa jumlah agen asuransi secara industri turun 2,4% pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penurunan ini, menurut Yurivanno, bermula dari penetapan POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) mengenai produk unitlink pada tahun 2022. Kebijakan ini menyebabkan penjualan unitlink turun drastis hingga 14%, yang pada akhirnya mengurangi antusiasme para agen. “Ini yang membuat memang terus terang antusiasme agen menurun di industri asuransi jiwa,” jelasnya.
Yurivanno menegaskan bahwa unitlink tetap boleh dijual, namun aturannya menjadi lebih ketat, termasuk terkait komisi agen. AASI melihat penurunan jumlah agen ini sebagai fase transisi atau “kejutan” yang wajar. Mereka optimis seiring berjalannya waktu, jumlah agen akan kembali meningkat seiring dengan adaptasi industri terhadap regulasi baru.
Fenomena “Rojali-Rohana” Merebak, Industri Asuransi Menghadapinya dengan Strategi Jitu
Fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) tidak lagi hanya terjadi di sektor ritel. Kini, fenomena yang mencerminkan tekanan daya beli masyarakat ini juga merambah ke industri asuransi.
Direktur Utama AXA Financial Indonesia, Niharika Yadav, mengamati bahwa perilaku serupa juga terlihat pada calon nasabah asuransi. Ia membagi masyarakat ke dalam dua kelompok utama berdasarkan kesadaran mereka terhadap produk asuransi.
Kelompok pertama adalah mereka yang sudah melek finansial. Mereka memahami betul manfaat asuransi, perbedaannya dengan produk perbankan, dan keuntungan pajak. Kelompok ini tahu persis apa yang mereka butuhkan, sehingga perusahaan asuransi merancang produk yang sesuai dengan permintaan mereka.
Kelompok kedua adalah masyarakat kelas menengah ke bawah yang sedang mengalami peningkatan kualitas hidup. Dengan pendapatan ganda dan akses pendidikan yang lebih baik, mereka mulai memiliki impian besar, seperti menyekolahkan anak ke sekolah unggulan, memiliki mobil, atau tinggal di apartemen.
Menurut Niharika, kelompok kedua inilah yang menjadi potensi pasar terbesar bagi industri asuransi di Indonesia. Kesadaran mereka yang terus tumbuh menjadikan asuransi sebagai solusi untuk mewujudkan impian dan melindungi masa depan. Oleh karena itu, perusahaan asuransi kini fokus merancang produk dengan premi terjangkau yang menawarkan manfaat optimal.
Daya Beli Masyarakat Kelas Atas Masih Menahan Diri
Fenomena “Rojali” ini tidak hanya dirasakan oleh industri asuransi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025 menunjukkan bahwa kelompok masyarakat kelas atas cenderung menahan konsumsi mereka.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menekankan bahwa fenomena ini tidak secara langsung mencerminkan angka kemiskinan, melainkan perilaku konsumsi dari kelompok berpenghasilan tinggi.
Dugaan ini diperkuat oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA), David Sumual. Menurutnya, konsumsi masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke atas, belum menunjukkan perbaikan signifikan hingga Juni 2025. Padahal, kelompok ini menyumbang 70% dari total konsumsi nasional, terutama untuk barang-barang tahan lama (durable goods) seperti mobil, motor, dan furniture.
Fenomena “Rojali-Rohana” di sektor asuransi dan sektor lainnya menjadi cerminan dari dinamika ekonomi yang sedang terjadi. Meskipun demikian, industri asuransi melihatnya sebagai peluang untuk mengedukasi dan menawarkan solusi perlindungan yang lebih relevan bagi masyarakat.
OJK Turun Tangan! Ini Alasan 6 Perusahaan Asuransi Diawasi Ketat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus memperketat pengawasan terhadap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP). Sebagai bagian dari upaya penegakan aturan dan perlindungan konsumen, OJK melakukan pengawasan khusus terhadap beberapa perusahaan yang dinilai bermasalah.
Kepala Eksekutif Pengawas PPDP OJK, Ogi Prastomiyono, mengungkapkan bahwa per 30 Juli 2025, ada 6 perusahaan asuransi dan reasuransi yang berada di bawah pengawasan khusus OJK. Pengawasan ini bertujuan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat memperbaiki kondisi keuangannya demi melindungi kepentingan para pemegang polis.
Selain itu, Ogi juga menyebutkan ada 9 dana pensiun yang masuk dalam kategori pengawasan khusus. Hal ini menunjukkan keseriusan OJK dalam memastikan stabilitas dan kesehatan seluruh sektor keuangan, khususnya yang berkaitan langsung dengan dana masyarakat.
Tindakan Tegas OJK Terhadap Pialang dan Agen Ilegal
Selain pengawasan khusus, OJK juga mengambil tindakan tegas terhadap aktivitas keperantaraan di bidang perasuransian yang tidak sesuai aturan. OJK melakukan penertiban terhadap pialang dan agen asuransi yang beroperasi secara ilegal.
Ogi menjelaskan, penegakan hukum pidana telah dilakukan terhadap perusahaan yang menyelenggarakan usaha pialang asuransi tanpa izin. Sanksi administratif juga diberikan kepada perusahaan asuransi yang berkolaborasi dengan pialang ilegal tersebut.
Tindakan serupa juga menyasar agen-agen dari beberapa perusahaan yang menjalankan operasional layaknya pialang. Bahkan, OJK juga telah menindak tegas kasus penggelapan premi yang dilakukan oleh pialang asuransi resmi.
Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen kuat OJK untuk membersihkan industri dari praktik-praktik yang merugikan konsumen dan menciptakan iklim bisnis yang sehat dan terpercaya di sektor asuransi.
—
Dari serangkaian perkembangan ini, jelas bahwa industri asuransi Indonesia tengah berada di persimpangan antara tantangan dan peluang. Perubahan perilaku konsumen, regulasi baru, dan kondisi ekonomi yang fluktuatif menuntut perusahaan untuk lebih adaptif, inovatif, dan transparan. Dengan strategi yang tepat, dukungan regulasi yang kuat, serta komitmen menjaga kepercayaan publik, industri asuransi bukan hanya mampu bertahan, tetapi juga berpotensi tumbuh lebih sehat dan berkelanjutan di masa depan.