Artikel ini ditulis oleh Irvan Rahardjo dan Diah Sofiyanti dalam Harian Investor Daily edisi e paper tanggal 9/8/2023 dengan judul “Menimbang Ekspektasi Investor atas Kenaikan Modal Asuransi”
Liga Asuransi – Dalam era transformasi industri asuransi, langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menaikkan modal perusahaan asuransi menciptakan sorotan mendalam. Rencana kenaikan modal ini, meskipun dihadapkan pada pro dan kontra dari pelaku industri, memperlihatkan komitmen OJK untuk memperkuat stabilitas dan keberlanjutan sektor asuransi.
Namun, ekspektasi investor dan pemegang saham juga memunculkan pertanyaan kritis tentang kesiapan industri dalam menghadapi perubahan. Dengan catatan kebijakan sebelumnya yang menghadapi tantangan, apakah kenaikan modal akan membawa revitalisasi sektor atau malah menantang eksistensi perusahaan kecil? Mari kita telusuri bersama dampak dan peluang di balik langkah strategis ini.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana untuk mengeluarkan aturan klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan modal minimum, sebagaimana KBMI perbankan. Perusahaan asuransi akan dibagi menjadi dua kelas, yaitu modal kelas 1 dan modal kelas 2. Asuransi dengan modal kelas 1 dapat menjual produk yang kategorinya kompleks, sementara modal kelas 2 hanya diperkenankan menjual produk sederhana.
Sebelum pengklasifikasian modal, OJK tengah mengembangkan wacana untuk menaikkan ketentuan modal minimum pada tahun 2026. Modal minimum perusahaan asuransi konvensional akan ditingkatkan dari Rp 150 miliar menjadi Rp 500 miliar pada 2026, dan selanjutnya menjadi Rp 1 triliun pada 2028. Sedangkan, perusahaan reasuransi konvensional akan mengalami peningkatan dari Rp 200 miliar menjadi Rp 1-2 triliun pada 2028. Untuk asuransi syariah, modal minimum akan meningkat dari Rp 50 miliar menjadi Rp 250-500 miliar pada 2028, sementara perusahaan reasuransi syariah akan mengalami peningkatan dari Rp 100 miliar menjadi Rp 500 miliar sampai Rp 1 triliun pada 2028.
Menurut OJK, regulasi permodalan bertujuan untuk memperkuat ketahanan industri asuransi dalam persaingan global, melindungi pemegang polis dan masyarakat, membuat operasional perusahaan asuransi lebih efektif dan efisien, serta mempersiapkan penyangga modal menghadapi kerugian atau conservation buffer sehingga tidak merugikan pemegang polis. OJK meyakini bahwa modal yang kuat dapat mendukung kelangsungan usaha perusahaan asuransi.
Bagaimana ekspektasi investor atau pemegang saham terkait rencana kenaikan permodalan asuransi tersebut?
Shivani Kela, seorang analis asuransi di GlobalData, menyatakan bahwa peraturan ini akan mengeluarkan pemain yang lebih kecil dari kompetisi dan membantu pemain yang lebih besar dengan modal yang lebih tinggi untuk memperkuat kemampuan mereka melalui konsolidasi.
Menurut Database Asuransi GlobalData, ada 66 entitas asuransi dengan premi kurang dari Rp 200 miliar pada tahun 2021 dan berisiko tinggi tidak memenuhi persyaratan modal yang ditingkatkan. Selain itu, 33 perusahaan memiliki premi antara Rp 200 hingga 500 miliar dan mungkin menghadapi kesulitan memenuhi standar baru.
Shivani menyimpulkan bahwa meskipun rencana ini menimbulkan tantangan jangka pendek, seperti menghambat kegiatan R&D dan mengurangi pengeluaran teknologi, peningkatan modal akan membuat perusahaan asuransi menjadi lebih sehat secara finansial dalam jangka panjang. Selain itu, ini dapat meningkatkan kepercayaan konsumen, yang pada gilirannya akan mengarah pada retensi lokal yang lebih tinggi dari premi dan pengurangan reasuransi ke luar negeri.
Sebuah media asuransi juga melakukan survei terhadap sejumlah eksekutif perasuransian dan reasuransi untuk mendapatkan tanggapan terhadap rencana kenaikan modal minimal asuransi dan reasuransi. Hasilnya, 79,1% responden menyatakan bahwa penerapan peningkatan modal oleh regulator sudah waktunya, 20,9% menyatakan tidak setuju dengan rencana kenaikan tersebut, dan 65,1% menyatakan setuju dengan rencana kenaikan modal minimal perusahaan asuransi konvensional menjadi Rp 500 miliar dalam tiga tahun ke depan.
Hasil lainnya menunjukkan bahwa 55,8% responden menyatakan jumlah perusahaan asuransi jiwa dan umum saat ini terlalu banyak sehingga diperlukan konsolidasi. Sebanyak 51,2% menyatakan bahwa sudah waktunya dilakukan pengurangan jumlah perusahaan asuransi jiwa dan umum, dan 48,8% menyatakan tidak setuju dengan pengurangan jumlah perusahaan. Pada sisi lain, 58,1% responden optimistis dapat mencapai modal setor sebesar Rp 500 miliar pada tahun 2026.
Menimbang Ekspektasi Investor atas Kenaikan Modal Asuransi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mengeluarkan aturan klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan modal minimum, sejalan dengan KBMI perbankan. Perusahaan asuransi akan terbagi menjadi dua kelas, yaitu modal kelas 1 dan modal kelas 2. Perusahaan asuransi dengan modal kelas 1 dapat menjual produk kategori kompleks, sementara modal kelas 2 hanya diperkenankan menjual produk sederhana.
Sebelum pengklasifikasian modal, OJK mengusulkan peningkatan ketentuan modal minimum pada tahun 2026. Modal minimum perusahaan asuransi konvensional akan ditingkatkan dari Rp 150 miliar menjadi Rp 500 miliar pada 2026 dan kemudian menjadi Rp 1 triliun pada 2028. Sedangkan, perusahaan reasuransi konvensional akan mengalami peningkatan dari Rp 200 miliar menjadi Rp 1-2 triliun pada 2028. Untuk asuransi syariah, modal minimum akan meningkat dari Rp 50 miliar menjadi Rp 250-500 miliar pada 2028, sementara perusahaan reasuransi syariah akan mengalami peningkatan dari Rp 100 miliar menjadi Rp 500 miliar sampai Rp 1 triliun pada 2028.
OJK menyatakan bahwa regulasi permodalan bertujuan untuk memperkuat ketahanan industri asuransi dalam persaingan global, melindungi pemegang polis dan masyarakat, membuat operasional perusahaan asuransi lebih efektif dan efisien, serta mempersiapkan penyangga modal menghadapi kerugian atau conservation buffer sehingga tidak merugikan pemegang polis. OJK meyakini bahwa modal yang kuat dapat mendukung kelangsungan usaha perusahaan asuransi.
Bagaimana ekspektasi investor atau pemegang saham terkait rencana kenaikan permodalan asuransi?
Menurut Shivani Kela, seorang analis asuransi di GlobalData, peraturan ini akan mengeluarkan pemain yang lebih kecil dari persaingan dan membantu pemain yang lebih besar dengan modal yang lebih tinggi untuk memperkuat kemampuan mereka melalui konsolidasi.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh media asuransi, sejumlah responden menyatakan setuju terhadap tahapan pemenuhan modal yang perlu waktu lebih panjang, menganggap nilai kenaikan modal terlalu besar, dan meragukan alasan untuk konsolidasi industri asuransi yang dianggap tidak objektif. Penting untuk mencatat bahwa riset media ini mungkin memiliki bias dan informasi yang menyesatkan karena respondennya berasal dari pialang asuransi dan penilai kerugian, bukan dari perusahaan asuransi sebagai pemegang saham dan komisaris yang seharusnya menjadi responden yang lebih objektif.
Meskipun demikian, untuk memastikan industri asuransi menjadi lebih baik dan sehat, kenaikan modal dianggap positif bagi pelaku industri. Namun, pelaksanaannya sebaiknya dilakukan setelah industri mampu memenuhi pelaksanaan PSAK 74 pada 2025.
Realitas peningkatan modal dalam perusahaan asuransi bukanlah perkara mudah. Sejarah peningkatan permodalan asuransi telah memerlukan waktu yang panjang. Dimulai dengan PP Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, modal disetor bagi perusahaan asuransi kerugian minimal Rp 3 miliar; perusahaan asuransi jiwa Rp 2 miliar; perusahaan reasuransi Rp 10 miliar; perusahaan pialang asuransi Rp 500 juta. Jika terdapat penyertaan langsung oleh pihak asing, modal disetor sekurang-kurangnya Rp 15 miliar; Rp 4,5 miliar bagi perusahaan asuransi jiwa.
Selanjutnya, berdasarkan PP 63/1999, persyaratan modal disetor bagi pendirian baru menjadi sekurang-kurangnya Rp 100 miliar bagi perusahaan asuransi; Rp 200 miliar bagi perusahaan reasuransi. Melalui PP 39/2008, modal disetor minimum bagi pendirian perusahaan perasuransian diubah menjadi Rp 100 miliar bagi perusahaan asuransi; Rp 200 miliar bagi perusahaan reasuransi; Rp 1 miliar bagi perusahaan pialang asuransi dan perusahaan pialang reasuransi.
Namun, aturan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan asuransi sesuai tahapan yang ditentukan. Hingga terbitnya PP 81/2008, di mana perusahaan asuransi harus memiliki modal sendiri dengan tahapan paling sedikit sebesar Rp 40 miliar pada 31 Desember 2010; Rp 70 miliar pada 31 Desember 2012; dan Rp 100 miliar pada 31 Desember 2014. Artinya, sejak dicanangkan kebijakan permodalan pada 1992, baru setelah 22 tahun kemudian perusahaan asuransi dapat memenuhi persyaratan ini dengan drama demonstrasi oleh pelaku industri yang keberatan dengan aturan permodalan Rp 100 miliar dan uji materi ke Mahkamah Agung (Frans Wiyono, 2008).
Meski eksekutif industri asuransi tampak pasrah, otoritas perlu memperhatikan sentimen pemegang saham perasuransian terhadap rencana kenaikan modal. Combined ratio (rasio biaya terhadap pendapatan premi bruto) perusahaan asuransi rata-rata berada di kisaran 130% selama beberapa tahun terakhir dan laba yang diperoleh didominasi oleh hasil investasi, bukan hasil operasional atau underwriting. Sebuah sumber menyebutkan bahwa dibutuhkan setidaknya anggaran US$ 1,5 juta untuk pengembangan sistem dan pelatihan PSAK 74, selain dari keharusan mempekerjakan aktuaris yang jumlahnya terbatas sehingga menaikkan biaya tenaga aktuaris.
Sebagai alternatif, insentif pajak diperlukan untuk mendorong merger dan akuisisi, seperti yang telah dimulai dengan akuisisi beberapa perusahaan asuransi oleh investor asing selama beberapa tahun terakhir. Selain itu, perlu penguatan praktik ter
Kesimpulan dari langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam rencana kenaikan modal perusahaan asuransi menjadi sorotan utama dalam peta transformasi industri ini. Meskipun menuai pendapat beragam dari pelaku industri, kebijakan ini menandai komitmen OJK untuk membangun fondasi yang lebih kokoh bagi sektor asuransi. Ekspektasi investor dan pemegang saham, sementara membawa keraguan, juga menciptakan momentum refleksi atas kesiapan industri menghadapi tantangan dan peluang baru. Sementara rencana kenaikan modal menawarkan kestabilan jangka panjang, keberhasilannya bergantung pada sejauh mana industri dapat mengintegrasikan tata kelola perusahaan yang baik (GCG), praktik underwriting yang efektif, dan pengelolaan biaya akuisisi yang bijak. Dalam menghadapi transformasi ini, terbuka peluang untuk memperkuat sektor dengan insentif pajak dan penguatan praktik terbaik. Dengan demikian, langkah strategis ini menjadi panggung bagi perusahaan asuransi untuk merealisasikan potensi penuhnya dan menghadirkan layanan yang lebih tangguh dan responsif bagi pemegang polis di tengah dinamika bisnis global.
—
Artikel ini pernah tayang di :
Harian Investor Daily
edisi e paper tanggal 9/8/2023
oleh: Irvan Rahardjo dan Diah Sofiyanti
dengan judul “Menimbang Ekspektasi Investor atas Kenaikan Modal Asuransi”
—
MENCARI PRODUK ASURANSI? JANGAN BUANG WAKTU ANDA DAN HUBUNGI KAMI SEKARANG
24 JAM L&G HOTLINE: 0811-8507-773 (CALL – WHATSAPP – SMS)
website: lngrisk.co.id
Email: customer.support@lngrisk.co.id
—