Liga Asuransi – Sidang pembaca yang luar biasa. Jika minggu lalu berita yang sangat santer dan banyak menyita perhatian adalah tentang masalah yang dihadapi oleh asuransi jiwa. Tapi minggu ini berita yang lebih “trending” adalah tentang asuransi umum khususnya produk asuransi kredit.
Sebagai dampak dari pandemi COVID-19 aktivitas ekonomi secara umum mengalami gangguan, tak terkecuali kegiatan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Kemampuan mereka untuk mengembalikan kredit menurun dan tak sedikit pula yang akhirnya macet. Buntutnya jaminan kredit yang diberikan oleh perusahaan asuransi dan perusahaan penjaminan kredit banyak yang terpaksa dicairkan. Jumlahnya semakin menggelembung sejalan dengan masa pandemi yang panjang dan masih belum tahu kapan akan berakhir. Buntutnya tingkat klaim asuransi kredit hingga September melonjak menjadi 50,9% dibanding tahun lalu.
Dampak pandemi COVID-19 terhadap industri perasuransian sangat terasa. Kondisi ini telah mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan termasuk dengan kewajiban untuk memenuhi tingkat Risk Based Capital (RBC) dan ketentuan modal minimum bagi perusahaan pialang asuransi. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan adanya kebijaksanaan khusus termasuk relaksasi dari OJK untuk memulihkan kondisi industri perasuransian.
Demikian berita asuransi pilihan minggu ini, semoga bermanfaat. Jika Anda tertarik mohon dibagikan kepada rekan-rekan Anda agar mereka juga paham seperti Anda.
- Klaim asuransi kredit melonjak 50,9%, OJK minta asuransi hati-hati kelola risiko
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) minta perusahaan asuransi berhati – hati dalam mengelola risiko asuransi kredit. Mengingat, hingga September 2020, premi asuransi kredit naik 29,1% secara tahunan (yoy) diikuti klaim 50,9% yoy.
“Pemahaman mengenai struktur dan kapasitas kredit perbankan yang di cover asuransi harus dipahami perusahaan asuransi. Ada berbagai macam produk dari asuransi kredit, asuransi jiwa kredit dan asuransi terkait jaminan kredit. Tentu mitigasi risiko kredit perbankan jangan hanya dipindah ke asuransi tapi dikelola,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi, Kamis (19/11).
Dengan demikian, kenaikan risiko kredit di tengah kondisi sulit saat ini perlu disesuaikan dengan tingkat premi yang dibebankan mitra bisnis ke perusahaan asuransi.
Prinsip kehati – hatian dalam pengelolaan risiko kredit juga terefleksi dalam proses penyeleksian risiko dan pembentukan cadangan teknis.
Menurutnya, salah satu substansi penerapan risiko kredit dengan memperhatikan prospek keuangan debitur perbankan ke depan. Dengan demikian risiko kredit yang semakin tinggi dapat dimitigasi secara optimal sekaligus mencegah timbulnya over eksposur.
“Salah satunya, risiko kredit yang terlibat dalam supply chain penyaluran kredit baik dari kreditur maupun perusahaan asuransi,” tambahnya.
Seperti diketahui, pemerintah telah mengimplementasikan beberapa program penyaluran kredit kepada pelaku usaha, mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Guna meredam dampak Covid-19, sejumlah kebijakan relaksasi ditetapkan pemerintah seperti subsidi bunga kredit dan penempatan dana pemerintah di bank pelat merah.
Dari situ, pihaknya berharap asuransi menjalin sinergi secara baik dengan bank dalam pengelolaan risiko kredit yang semakin besar sebagai dampak pandemi Covid-19. Kondisi tersebut juga meningkatkan eksposur risiko kredit, sehingga lini bisnis asuransi kredit juga meningkat secara tahunan.
- Ini alasan OJK minta asuransi hati-hati kelola risiko asuransi kredit
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tingkat klaim asuransi yang tinggi membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan perusahaan asuransi untuk lebih berhati – hati dalam mengelola risiko asuransi kredit. Asal tahu saja, hingga September 2020, premi asuransi kredit naik 29,1% secara tahunan (yoy) diikuti klaim 50,9% yoy.
“Pemahaman mengenai struktur dan kapasitas kredit perbankan yang di cover asuransi harus dipahami perusahaan asuransi. Ada berbagai macam produk dari asuransi kredit, asuransi jiwa kredit dan asuransi terkait jaminan kredit. Tentu mitigasi risiko kredit perbankan jangan hanya dipindah ke asuransi tapi dikelola,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi, Kamis (19/11).
Dengan demikian, kenaikan risiko kredit di tengah kondisi sulit saat ini perlu disesuaikan dengan tingkat premi yang dibebankan mitra bisnis ke perusahaan asuransi.
Prinsip kehati – hatian dalam pengelolaan risiko kredit juga terefleksi dalam proses penyeleksian risiko dan pembentukan cadangan teknis.
Menurutnya, salah satu substansi penerapan risiko kredit dengan memperhatikan prospek keuangan debitur perbankan ke depan. Dengan demikian risiko kredit yang semakin tinggi dapat dimitigasi secara optimal sekaligus mencegah timbulnya over eksposur.
“Salah satunya, risiko kredit yang terlibat dalam supply chain penyaluran kredit baik dari kreditur maupun perusahaan asuransi,” tambahnya.
Seperti diketahui, pemerintah telah mengimplementasikan beberapa program penyaluran kredit kepada pelaku usaha, mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Guna meredam dampak Covid-19, sejumlah kebijakan relaksasi ditetapkan pemerintah seperti subsidi bunga kredit dan penempatan dana pemerintah di bank pelat merah.
Dari situ, pihaknya berharap asuransi menjalin sinergi secara baik dengan bank dalam pengelolaan risiko kredit yang semakin besar sebagai dampak pandemi Covid-19. Kondisi tersebut juga meningkatkan eksposur risiko kredit, sehingga lini bisnis asuransi kredit juga meningkat secara tahunan.
- Premi bancassurance anjlok 16,9% hingga September, ini harapan OJK ke asuransi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Perubahan gaya hidup masyarakat di tengah pandemi virus corona (Covid-19) ternyata berpengaruh pada pendapatan premi dari kanal bancassurance. Pada situasi saat ini, mereka lebih banyak mengakses produk asuransi secara daring dibandingkan datang ke kantor cabang bank.
Akibatnya, hingga September 2020 penerimaan premi dari bancassurance turun 16,9% secara year on year (yoy). Penurunan itu berdampak besar terhadap bisnis asuransi karena bancassurance berkontribusi 21,8% dari total premi industri.
Guna mengantisipasi penurunan lebih besar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyarankan perusahaan asuransi mengoptimalkan pemasaran melalui kanal digital. Apalagi, penggunaan layanan digital selama pandemi juga meningkat.
“Kami melihat inovasi produksi asuransi dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi sebagai suatu keharusan dan tidak dapat lagi dihindari para pelaku industri asuransi sebagai salah satu upaya meningkatkan jangkauan yang lebih efektif dan efisien,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Riswinandi, dalam sesi webinar, Kamis (19/11).
Ke depan, pemasaran asuransi yang memanfaatkan teknologi informasi dinilai lebih efisiensi. Maka itu, pemasaran produk asuransi harus disesuaikan dengan mekanisme produk yang dijalankan saat ini dengan kebutuhan konsumen.
Oleh karena itu, beberapa pihak harus melakukan peninjauan terkait efektivitas pemasaran bancassurance yang selama ini dilakukan melalui kantor cabang bank. Menurutnya, peninjauan ini diperlukan, melihat kecenderungan konsumen mulai mengurangi kunjungan ke kantor cabang sebagai saluran distribusi konvensional.
“Survei ini sejalan dengan temuan data statistik data pelaku industri yang menunjukkan bahwa pemasaran lewat jalur konvensional seperti agen dan bancassurance mengalami penurunan yang cukup signifikan sepanjang tahun 2020,” tutupnya.
- Apindo: Asuransi Penopang Pemulihan Ekonomi, Perlu Penguatan
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga aspek yang harus menjadi perhatian pemangku kepentingan dan industri asuransi dalam hal pemulihan ekonomi.
Wibi Pangestu Pratama Widi Pangestu Pratama – Bisnis.com
Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai bahwa industri asuransi merupakan penopang pertumbuhan ekonomi yang kuat pasca krisis pandemi virus corona. Diperlukan sejumlah hal untuk memperkuat posisi asuransi dalam pemulihan ekonomi tersebut.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga aspek yang harus menjadi perhatian pemangku kepentingan dan industri asuransi dalam hal pemulihan ekonomi. Pertama, perlu adanya pembangunan jalan ekonomi baru melalui sektor-sektor potensial.
Peningkatan daya saing ekonomi, menurutnya, dapat dilakukan melalui penguasaan aspek digital, penguatan inovasi, dan pengembangan kewirausahaan. Upaya tersebut perlu mendapatkan dukungan asuransi dalam hal mitigasi risiko.
“Industri asuransi sendiri perlu memanfaatkan peluang ekonomi baru, terutama di sektor-sektor potensial yang tumbuh melesat pasca recovery ekonomi nantinya,” ujar Hariyadi dalam gelaran Webinar Ekspektasi Dunia Usaha dan Perbankan terhadap Industri Asuransi, Kamis (19/11/2020).
Kedua, perlu adanya penguatan kapabilitas ekonomi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM), produktivitas bisnis, dan kualitas kelembagaan sektor publik. Menurut Hariyadi, hal-hal tersebut akan mendorong pertumbuhan bisnis dan memacu peningkatan kebutuhan proteksi.
Ketiga yakni pembangunan ketahanan ekonomi sosial, baik dalam struktur ekonomi sektor riil maupun keuangan. Hariyadi menilai bahwa faktor ini merupakan yang paling krusial dan sangat membutuhkan dukungan industri asuransi.
“Industri harus mengambil peluang untuk reformasi kebijakan yang sudah lama terbengkalai lewat momentum bad times, good policies,” ujarnya.
Apindo berpandangan bahwa industri asuransi memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas aktivitas ekonomi di tengah krisis pandemi Covid-19 ini. Sektor asuransi umum berperan dalam memitigasi berbagai risiko bisnis dan asuransi jiwa berperan dalam menjaga kualitas hidup SDM, sebagai tulang punggung perekonomian.
Oleh karena itu, menurut Hariyadi, Apindo mendorong adanya peningkatan kualitas industri asuransi agar dapat menopang aktivitas ekonomi yang akan segera pulih. Penguatan itu tak lepas dari peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah selalu regulator dan pengawas.
“Dunia usaha memiliki ekspektasi agar pembinaan dan pengawasan sektor asuransi harus sama dengan perbankan, sehingga kualitas pengembangan asuransi akan lebih baik dan kepercayaan masyarakat meningkat,” ujarnya.
Apindo pun menilai bahwa pemerintah perlu menyusun regulasi spesifik yang sesuai dengan kebutuhan industri asuransi saat ini. Berbagai upaya itu akan mampu mendorong edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan penetrasi asuransi.
- Suntikan Pemerintah untuk Bereskan Jiwasraya, Rp20 Triliun atau Rp22 Triliun?
Bisnis.com, JAKARTA — Hingga saat ini terdapat dua versi rencana penanaman modal negara (PMN) untuk penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yakni Rp20 triliun pada tahun depan atau Rp22 triliun dalam waktu dua tahun. Kenapa terdapat perbedaan versi?
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan bahwa pemerintah akan menyuntikkan dana ke PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) atau BPUI. Hal tersebut ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 20/2020 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI kepada BPUI.
Aturan itu memang tidak menjabarkan besaran suntikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) kepada BPUI. Namun, pada Kamis (1/10/2020), Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo menyatakan bahwa besaran suntikan dana itu mencapai Rp22 triliun, bersamaan dengan pengenalan nama baru dari BPUI yakni Indonesia Financial Group (IFG).
Saat itu, rencana penyuntikan modal akan dilakukan dalam dua tahun, yakni Rp12 triliun pada 2021 dan Rp10 triliun pada 2022. Dana tersebut akan disalurkan kepada IFG lalu diturunkan kepada perusahaan asuransi jiwa baru, yakni IFG Life.
Meskipun begitu, dalam rapat Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (17/11/2020) Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata menyebutkan bahwa alokasi APBN untuk IFG pada 2021 adalah sebesar Rp20 triliun. Total nilainya lebih rendah jika dibandingkan dengan penjelasan Kementerian BUMN.
Penjabaran Isa pun sejalan dengan rencana awal PMN bagi BPUI dalam Nota Keuangan Rancangan APBN (RAPBN) 2021 yang diserahkan Presiden Joko Widodo kepada DPR, Jumat (14/8/2020), besarannya yakni Rp20 triliun. Sejak Selasa (7/7/2020), Bisnis pun telah memperoleh informasi bahwa besaran PMN untuk penyelesaian kasus Jiwasraya itu akan mencapai Rp20 triliun.
Isa menyatakan bahwa pemerintah memang merencanakan PMN untuk IFG sebesar Rp20 triliun pada tahun depan. Pemerintah pun menentukan beberapa model investasi melalui suntikan modal itu, seluruh skema PMN pun masih dalam proses kajian.
“Rencana PMN untuk BPUI tahun 2021 memang Rp20 triliun, salah satu yang mengemuka adalah PMN dua tahap pada tahun 2020 dan 2021 sebesar Rp12 triliun dan Rp10 triliun. Dalam opsi ini ada komponen yang berubah juga sih,” ujar Isa kepada Bisnis, Kamis (19/11/2020).
Meskipun begitu, menurutnya, sampai saat ini pemerintah belum memutuskan berapa nilai PMN kepada IFG yang salah satu tujuannya untuk menyelesaikan kasus keuangan Jiwasraya. Skema yang dipilih akan ditentukan oleh pemerintah bersama dengan DPR.
“Opsi sekaligus atau opsi bertahap dua tahun terus dimatangkan dan akan dikonsultasikan ke berbagai pihak yang relevan, termasuk Komisi VI dan Komisi XI DPR, sedang dibahas terus,” ujar Isa.
- Laba Tahun Berjalan Tugu Insurance Capai Rp 235,08 M di Q3 2020
detikFinance Jakarta – PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia Tbk (Tugu Insurance) melaporkan kinerja perusahaan tumbuh positif di triwulan III-2020. Laba bersih Tugu Insurance di Q3-2020 mencatatkan laba tahun berjalan konsolidasian Rp 235,08 miliar, meningkat dari capaian di Q2 sebesar Rp 98,42 miliar.
Mengutip laporan perusahaan, sampai dengan Q3-2020, pendapatan premi secara konsolidasi Tugu Insurance mencapai Rp 4,57 triliun, turun dari periode yang sama tahun lalu senilai Rp 4,94 triliun. Presiden Direktur Tugu Insurance Indra Baruna menerangkan penurunan tersebut diakibatkan pelemahan ekonomi global, penurunan harga minyak, dan kelemahan pasar modal dampak pandemi COVID-19.
“Namun kerja keras kami di masa sulit ini masih dapat mencatatkan pertumbuhan produksi premi di beberapa lini produk asuransi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Secara kinerja induk (own operation) perolehan premi marine hull naik 29% dari Rp 142,43 miliar menjadi Rp 183,55 miliar, diikuti dengan premi offshore naik 18% dari Rp 440,29 miliar menjadi Rp 519,69 miliar, adapun untuk premi bond naik 32% dari Rp 17,27 miliar menjadi Rp 22,76 miliar, dan di sektor health insurance naik 32% dari Rp 14,80 miliar menjadi Rp 19,54 miliar,” papar Indra dalam keterangan tertulis, Kamis (17/11/2020).
“Bahkan pada kondisi industri penjualan otomotif yang masih cukup memprihatinkan kami bersyukur bahwa premi asuransi kendaraan bermotor kami tetap mempertahankan sales dari Rp 143,04 miliar menjadi Rp 144,11 miliar” lanjut Indra.
Ia menambahkan sampai dengan 30 September 2020, kinerja hasil underwriting konsolidasi Tugu Insurance sudah mencapai Rp 388,41 miliar, diikuti dengan pencatatan total asset Rp 20,19 triliun, dan ekuitas mencapai Rp 8,38 triliun.
“Dan tingkat Risk Based Capital (RBC) Perseroan adalah sebesar 368%, jauh di atas ketentuan batas minimum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebesar 120%,” urai Indra.
Tugu Insurance juga melaporkan outlook perseroan meningkat menjadi “Stable”, sedangkan peringkat rating internasional dari lembaga pemeringkat global A.M. Best bertahan di level ‘A-‘ (Excellent). Indra menyampaikan selama 5 tahun berturut-turut Tugu Insurance masih menjadi satu-satunya perusahaan asuransi umum nasional yang memiliki predikat rating internasional ‘A-‘ (Excellent) dari A.M. Best. Peringkat tersebut, jelas Indra, mencerminkan posisi keuangan Tugu Insurance yang sangat kuat, didukung oleh operasional bisnis yang kuat dan manajemen risiko yang memadai.
Indra mengatakan perseroan terus berinovasi dalam berbagai hal untuk memberikan layanan terbaik bagi pelanggan, diantaranya melalui produk unggulan baru t-fracture, layanan Tugu Real Experience (t-rex) untuk bantuan darurat 24/7, layanan Call TIA (Tugu Insurance Assistance) 1 500 458 setiap saat, t-drive application untuk memasarkan produk t-drive maupun t-ride, serta t-friends application untuk menggarap bisnis dari keagenan.
“Kami berharap produk-produk Tugu Insurance semakin mudah dijangkau melalui berbagai kanal distribusi guna memenuhi kebutuhan asuransi pelanggan. Simplifikasi proses dengan menggunakan platform digital juga terus kami kembangkan untuk mempermudah proses pembelian hingga klaim menyesuaikan dengan gaya hidup #NewNormal,” ulas Indra.
- Cermati Dulu Kalau Mau Beli Asuransi Plus Unit Link
detikFinance Jakarta – Produk asuransi merupakan salah satu perlindungan untuk diri sendiri. Namun ada juga produk yang menawarkan perlindungan sekaligus investasi, bernama unit link.
Calon nasabah sebaiknya memahami produk-produk asuransi sebelum membeli. Bisa menanyakan langsung secara detail ke agen yang menawarkan atau mencari informasi di tempat lain. Terutama untuk produk unit link.
Mengutip laman resmi sikapiuangmu.ojk.go.id disebutkan produk asuransi unit link memang harus dipahami risikonya. Dalam produk unit link, uang yang disetorkan nasabah tak hanya diperuntukkan membayar premi asuransi, tetapi juga diinvestasikan oleh perusahaan asuransi melalui manajer investasi, agar nilainya terus berkembang.
Memang produk unit link ini memiliki kelebihan. Dari catatan OJK selama 10 tahun terakhir, produk unit link tumbuh 10.000%. Di sisi lain asuransi konvensional hanya tumbuh 380%.
Tapi ada hal yang harus diperhatikan. Jadi, konsumen jangan terburu-buru terbuai dengan iming-iming kombinasi investasi dan proteksi dalam satu produk ini. Sebab unit link bukanlah instrumen investasi tanpa risiko.
“Di samping itu, kita sebaiknya lebih dahulu membandingkan mana yang lebih baik, membeli satu paket proteksi dan investasi sekaligus (unit link) atau membelinya secara terpisah, produk proteksi sendiri, dan produk investasi juga sendiri,” tulis informasi tersebut dikutip Sabtu (14/11/2020).
Dalam instrumen unit link ini, konsumen tak bisa melacak dana diinvestasikan dan biaya apa saja yang harus dikeluarkan menyusul pilihan investasi tersebut. Nah hal inilah yang membedakan unit link dengan reksa dana.
Perencana keuangan Aidil Akbar Madjid mengungkapkan produk unit link ini tidak bisa memberikan keleluasaan kepada nasabah untuk menghentikan investasinya ketika dalam kesulitan finansial.
Sebaliknya dengan mengambil asuransi dan investasi secara terpisah, nasabah akan sangat leluasa menentukan keputusan keuangannya.
“Mereka bisa mengurangi atau bahkan menyetop investasinya tanpa khawatir kehilangan perlindungan asuransinya,” jelas dia.
Informasi ini dipersembahkan oleh L&G Insurance Broker.