Liga Asuransi – Industri asuransi di Indonesia menghadapi dinamika yang menarik menjelang tahun 2025, dengan berbagai tantangan sekaligus peluang yang dapat menentukan arah pertumbuhannya. Dari penyelesaian kasus klaim hingga edukasi masyarakat tentang pentingnya perlindungan asuransi, pelaku industri terus berinovasi untuk menjawab kebutuhan dan ekspektasi nasabah. Di sisi lain, tantangan global seperti inflasi medis, kenaikan PPN, dan pelemahan daya beli masyarakat menambah kompleksitas lanskap ini. Artikel ini akan membahas perkembangan terbaru dalam industri asuransi, termasuk berita terhangat serta langkah-langkah strategis untuk menghadapi tantangan di tahun mendatang.
Prudential Indonesia Rampungkan Kasus Tunggakan Klaim Nasabah di Medan
PT Prudential Life Assurance (Prudential Indonesia) mengumumkan bahwa kasus tunggakan klaim nasabah di Medan senilai Rp20 miliar telah diselesaikan. Chief Customer & Marketing Officer Prudential Indonesia, Karin Zulkarnaen, menjelaskan bahwa penolakan klaim tersebut didasarkan pada alasan tertentu, terutama terkait ketentuan pre-existing condition.
“Setiap produk asuransi memiliki syarat dan ketentuan, salah satunya terkait pre-existing condition, yaitu kondisi kesehatan yang sudah ada sebelum nasabah bergabung. Kondisi ini memang tidak dikover,” ungkap Karin pada Jumat (20/12/2024).
Pentingnya Transparansi Nasabah
Karin menekankan pentingnya nasabah untuk memberikan informasi kesehatan secara lengkap dan jujur saat mendaftar asuransi. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas kepada perusahaan mengenai kondisi kesehatan nasabah, baik yang baru bergabung maupun yang telah lama menjadi peserta asuransi.
“Jika nasabah tidak menyampaikan kondisi kesehatan secara jujur, kami tidak memiliki data lengkap tentang riwayat penyakit mereka. Hal ini tentu dapat memengaruhi keputusan terkait klaim,” tambahnya.
Penyelesaian Kasus Medan
Terkait kasus di Medan, Karin memastikan bahwa masalah tersebut telah rampung. Nasabah yang bersangkutan telah dihubungi oleh Prudential Indonesia, dan penjelasan lengkap telah diberikan. “Untuk setiap kasus, baik klaim yang disetujui maupun tidak, kami selalu berkomunikasi langsung dengan nasabah, bukan dengan pihak lain. Jadi, kasus di Medan ini sudah selesai,” tegasnya.
Ketika ditanya mengenai keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kasus ini, Karin menyebutkan bahwa ia tidak mengetahui apakah laporan tersebut telah sampai ke regulator.
Performa Klaim Prudential Indonesia
Di tengah isu ini, Prudential Indonesia tetap mencatatkan performa positif. Sepanjang kuartal III-2024, perusahaan membayarkan klaim dan manfaat sebesar Rp13,6 triliun, meningkat 4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Total klaim yang diselesaikan mencapai 1,1 juta klaim, menunjukkan komitmen perusahaan dalam memberikan manfaat kepada para nasabahnya.
Kesimpulan
Kasus tunggakan klaim senilai Rp20 miliar di Medan menjadi pengingat akan pentingnya transparansi antara nasabah dan perusahaan asuransi. Dengan komunikasi yang baik dan pemahaman terhadap ketentuan produk, diharapkan kasus serupa dapat diminimalkan di masa depan. Prudential Indonesia pun berkomitmen untuk menyelesaikan setiap klaim dengan pendekatan yang profesional dan adil.
Pentingnya Asuransi Kerugian: Proteksi Maksimal dengan Premi Terjangkau
BRI Insurance (BRINS) terus aktif mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memiliki asuransi kerugian guna melindungi harta dan aset dari berbagai risiko tak terduga. Melalui kerja sama dengan tim Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), BRINS memperkenalkan produk asuransi kerugian kepada warga di Pamulang, Tangerang Selatan.
Eka Indria Sari, EVP Development and Operational Business Division BRI Insurance, menyampaikan bahwa asuransi kerugian berperan penting dalam menjaga stabilitas keuangan saat musibah melanda. “Dengan premi yang sangat terjangkau, masyarakat sudah bisa mendapatkan perlindungan yang signifikan. Begitu terjadi musibah, asuransi hadir memberikan penggantian, sehingga beban finansial dapat diminimalkan,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Minggu (22/12/2024).
Beragam Produk untuk Berbagai Kebutuhan
BRINS menawarkan lebih dari 70 jenis produk asuransi kerugian yang dirancang untuk menjawab kebutuhan berbagai segmen masyarakat. Mulai dari asuransi kebakaran, kendaraan bermotor, rumah, apartemen, hingga tempat usaha, bahkan asuransi untuk satelit pun tersedia.
Eka menambahkan bahwa asuransi kebakaran menjadi salah satu produk unggulan, khususnya bagi ibu rumah tangga, dengan premi hanya Rp50.000 per tahun. “Produk ini berbentuk santunan. Jadi, jika terjadi musibah, tanpa perlu survei panjang, santunan akan langsung diproses. Sesuai aturan OJK, kami wajib mencairkan klaim dalam waktu maksimal 10 hari setelah kejadian,” jelasnya.
Solusi Digital yang Mudah Diakses
Untuk mempermudah akses masyarakat, BRINS menghadirkan layanan pembelian asuransi kerugian melalui aplikasi BRImo dan BRINSmobile. Pengguna cukup memilih fitur asuransi di aplikasi, mengikuti petunjuk yang tersedia, dan polis asuransi pun akan terbit dalam waktu singkat.
“Aplikasi BRINSmobile menawarkan perlindungan lebih lengkap, seperti asuransi kebakaran, kendaraan bermotor, dan kecelakaan diri. Dengan solusi digital ini, masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan,” tambah Eka.
Menjangkau Pelaku Usaha Kecil
Tidak hanya menyasar keluarga atau individu, BRINS juga memberikan solusi proteksi bagi pelaku usaha kecil. Hal ini diharapkan dapat membantu usaha kecil tetap tangguh menghadapi risiko yang tak terduga, serta mendukung keberlanjutan usaha mereka.
Melalui inovasi dan edukasi yang berkelanjutan, BRI Insurance berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya asuransi kerugian, sekaligus memperluas inklusi keuangan di Indonesia. Dengan BRINS, perlindungan aset kini tidak lagi menjadi hal yang sulit atau mahal.
Kenaikan PPN 12% di Tahun 2025: Solusi atau Beban Baru bagi Masyarakat?
Pada tahun 2025, masyarakat Indonesia harus bersiap menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini diproyeksikan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Namun, dampaknya diprediksi akan memberatkan masyarakat, terutama kelas menengah yang daya belinya semakin melemah.
Dampak Langsung pada Konsumsi Rumah Tangga
Sebagai pajak yang dibebankan langsung kepada konsumen, kenaikan PPN otomatis akan mendongkrak harga barang dan jasa. Data menunjukkan tren penurunan daya beli masyarakat sepanjang tahun 2024, dengan konsumsi rumah tangga dalam PDB nasional turun dari 2,61% pada kuartal II menjadi 2,55% di kuartal III.
Tidak hanya itu, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia. Pada 2024, jumlah penduduk kelas menengah turun menjadi 47,85 juta orang, dari 48,27 juta orang pada tahun sebelumnya. Sementara itu, kelompok rentan miskin meningkat menjadi 67,69 juta orang pada tahun yang sama, menunjukkan betapa rapuhnya ekonomi masyarakat.
Fenomena “Mantab” dan Krisis Tabungan
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) turut memperparah situasi. Pada 2024, hingga Agustus, tercatat 46.240 pekerja terkena PHK, meningkat dari periode yang sama pada 2023 sebanyak 37.375 orang. Akibatnya, muncul fenomena “Mantab” atau makan tabungan, di mana masyarakat menggunakan tabungan mereka untuk kebutuhan sehari-hari. Data menunjukkan saldo tabungan di bawah Rp100 juta mengalami penurunan hingga 40% sejak 2019.
Dampak pada Industri Asuransi
Industri asuransi nasional juga diperkirakan akan terkena dampak signifikan. Dengan daya beli yang terus melemah, produk asuransi akan dianggap mahal dan tidak menjadi prioritas masyarakat. Akibatnya, angka inklusi asuransi—yang tengah diupayakan pemerintah—terancam mandek. Tanpa perlindungan asuransi, risiko kerugian keuangan masyarakat justru meningkat, yang pada akhirnya dapat memengaruhi stabilitas ekonomi nasional.
Perlukah Menunda Kenaikan PPN?
Melihat kondisi ini, langkah menaikkan tarif PPN sebaiknya ditunda hingga daya beli masyarakat pulih. Meskipun bertujuan meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi akibat penurunan konsumsi rumah tangga dan aktivitas ekonomi. Tanpa daya beli yang kuat, pendapatan negara dari sektor lain juga akan terhambat.
Keseimbangan antara peningkatan pendapatan negara dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat harus menjadi prioritas utama. Dengan menunda kenaikan PPN, pemerintah bisa memberikan ruang bagi masyarakat untuk memulihkan kondisi ekonomi mereka, sekaligus memastikan stabilitas ekonomi nasional tetap terjaga.
Source : https://mediaasuransinews.co.id/majalah/ppn-daya-beli-dan-asuransi/
OJK Dorong 6 Strategi Atasi Tingginya Rasio Klaim Asuransi Kesehatan
Inflasi medis terus menjadi tantangan besar bagi industri asuransi kesehatan di Indonesia. Data terbaru dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat rasio klaim asuransi kesehatan mencapai 139,5% pada kuartal III/2024. Artinya, nilai klaim yang dibayarkan perusahaan asuransi jauh melampaui premi yang diterima. Dengan premi asuransi kesehatan hanya sebesar Rp14,98 triliun, klaim yang harus dibayarkan mencapai Rp20,91 triliun, melonjak 37,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dalam merespons tantangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merancang enam inisiatif strategis untuk membantu perusahaan asuransi kesehatan memperkuat ekosistemnya. Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila, mengungkapkan bahwa langkah-langkah ini bertujuan meningkatkan efisiensi, mengurangi potensi penyalahgunaan layanan medis, dan menekan laju inflasi medis yang kian memberatkan industri.
Langkah-langkah utama OJK meliputi:
- Digitalisasi Host-to-Host: Menghubungkan perusahaan asuransi dengan rumah sakit untuk efisiensi dan mencegah penyalahgunaan.
- Tinjauan Layanan Medis: Memastikan layanan sesuai kebutuhan pasien.
- Medical Advisory Board: Memberikan panduan klinis dan pengawasan efektivitas pengobatan.
- Fitur Co-Sharing: Peserta asuransi menanggung sebagian biaya untuk mendorong penggunaan layanan yang bijak.
- Koordinasi dengan BPJS: Skema CoB untuk efisiensi biaya klaim.
- Edukasi Gaya Hidup Sehat: Mengurangi risiko penyakit dan klaim di masa depan.
Inflasi Medis: Fenomena Global
Iwan Pasila menjelaskan bahwa inflasi medis yang tinggi bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena global. Berdasarkan studi Global Medical Trend Reports oleh Willis Towers Watson dan AON, inflasi medis secara konsisten berada di atas inflasi umum, bahkan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya. Penyebab utamanya meliputi kecenderungan overuse layanan medis, overuse obat-obatan, dan pola hidup kurang sehat.
Kolaborasi untuk Masa Depan
Dengan enam inisiatif strategis ini, OJK berharap dapat membantu perusahaan asuransi kesehatan menghadapi tantangan inflasi medis yang terus meningkat. Kolaborasi antara OJK, perusahaan asuransi, rumah sakit, dan masyarakat menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem asuransi kesehatan yang lebih efisien, berkelanjutan, dan memberikan perlindungan maksimal bagi masyarakat.
“Melalui langkah-langkah ini, kami ingin memastikan bahwa ekosistem asuransi kesehatan di Indonesia semakin kuat dan mampu memberikan nilai tambah bagi semua pihak,” pungkas Iwan. Kini, saatnya semua pihak bersinergi untuk menciptakan solusi terbaik bagi masa depan asuransi kesehatan di Indonesia.
Tantangan dan Peluang Industri Asuransi di Tahun 2025
Industri asuransi dan reasuransi diproyeksikan akan menghadapi berbagai tantangan besar di tahun 2025. Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), sekaligus dosen dan praktisi manajemen risiko, Wahyudin Rahman, mengungkapkan bahwa tahun mendatang akan menjadi periode penuh dinamika bagi sektor ini. Ia memprediksi adanya penurunan kinerja akibat perubahan signifikan yang memengaruhi struktur perusahaan, permodalan, bisnis, dan operasional.
“Industri asuransi dan reasuransi di tahun 2025 akan menghadapi tekanan besar karena harus beradaptasi dengan perubahan besar di berbagai aspek, termasuk struktur perusahaan, modal, dan operasional,” ujar Wahyudin kepada Kontan.co.id (20/12).
Implementasi PSAK 117 dan Pemisahan Unit Syariah
Salah satu tantangan utama yang dihadapi industri asuransi adalah implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117 yang mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini menuntut perusahaan untuk melakukan penyesuaian signifikan dalam pelaporan keuangan.
Selain itu, proses pemisahan unit syariah dari perusahaan asuransi konvensional, sesuai regulasi yang berlaku hingga 2026, juga menambah beban industri. Proses ini mendorong gelombang aksi akuisisi dan merger untuk memenuhi ketentuan regulasi. Konsekuensinya, jumlah perusahaan penyedia layanan asuransi konvensional dan syariah diprediksi akan berkurang, yang dapat memengaruhi persaingan pasar, ketersediaan produk, dan opsi bagi nasabah.
Tantangan SDM dan Kompetensi
Kebutuhan akan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas menjadi isu krusial lainnya. Wahyudin menegaskan pentingnya kolaborasi antara lembaga pendidikan asuransi dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) guna meningkatkan kompetensi SDM. Upaya ini dinilai strategis untuk memastikan industri tetap kompetitif di tengah perubahan yang terjadi.
Peluang Pertumbuhan di Tengah Tantangan
Di balik berbagai tantangan, Wahyudin juga melihat peluang yang dapat dimanfaatkan oleh industri asuransi. Regulasi dan program pemerintah, seperti penerapan asuransi wajib tanggung jawab pihak ketiga (TPL) untuk kendaraan bermotor, menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan sektor ini.
Selain itu, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap asuransi tradisional, serta produk asuransi yang terkait bencana, kargo, dan infrastruktur, memberikan prospek positif. Proyek ketahanan pangan dan pembangunan nasional yang digagas pemerintah turut mendorong permintaan akan perlindungan asuransi yang relevan.
“Minat masyarakat terhadap asuransi tradisional terus meningkat, sementara produk terkait bencana, kargo, dan infrastruktur memiliki potensi besar, terutama dengan adanya pembangunan nasional,” jelas Wahyudin.
Tren Aset Industri Asuransi
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset industri asuransi mencapai Rp 1.133,58 triliun per Oktober 2024, naik 2,98% secara tahunan (YoY). Rinciannya, aset asuransi komersial mencapai Rp 914,03 triliun, meningkat 4,31% YoY, sementara aset asuransi nonkomersial sebesar Rp 219,55 triliun mengalami penurunan 2,20% YoY.
Kesimpulan
Industri asuransi di tahun 2025 dihadapkan pada tantangan besar yang menuntut adaptasi dan inovasi. Meski demikian, peluang pertumbuhan tetap terbuka lebar dengan adanya regulasi pemerintah dan minat masyarakat yang terus meningkat terhadap produk asuransi. Kolaborasi strategis, peningkatan kompetensi SDM, dan inovasi produk menjadi kunci bagi industri untuk tetap bertahan dan berkembang di masa depan.
Source : https://keuangan.kontan.co.id/news/ini-sejumlah-tantangan-industri-asuransi-di-2025
Kasus Sritex: Pelajaran Penting dari Asuransi Kredit untuk Mitigasi Risiko Gagal Bayar
Kasus gagal bayar yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) dan IndoBharat menjadi sorotan publik, terutama dalam peran asuransi kredit dalam melindungi perusahaan dari risiko piutang tak tertagih. Dalam kasus ini, IndoBharat menggunakan asuransi kredit perdagangan untuk melindungi tagihannya. Ketika Sritex tidak mampu melunasi kewajibannya, perusahaan asuransi mengambil alih tanggung jawab pembayaran piutang tersebut.
Peran Strategis Asuransi Kredit
Menurut Wahyudin Rahman, Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), asuransi kredit dirancang untuk melindungi kreditur dari risiko gagal bayar oleh mitra bisnis. “Asuransi ini membantu mengurangi dampak kerugian dengan memberikan kompensasi atas piutang yang tidak tertagih,” jelas Wahyudin.
Namun, Wahyudin menilai ada kejanggalan dalam kasus ini, terutama terkait keberanian perusahaan asuransi menanggung risiko tinggi dari Sritex. Ia mencurigai faktor underwriting yang kurang ketat, termasuk kondisi makroekonomi dan akumulasi pembiayaan Sritex, menjadi penyebab.
Subrogasi dan Transparansi
Kasus ini juga memunculkan potensi subrogasi, yaitu hak perusahaan asuransi untuk menuntut Sritex mengganti klaim yang telah dibayarkan kepada IndoBharat. “Tidak adanya transparansi dalam proses ini membuat kasus ini semakin kompleks,” ujar Wahyudin.
Pentingnya Regulasi dan Edukasi
Wahyudin menekankan perlunya sosialisasi lebih luas mengenai polis asuransi kredit, termasuk ketentuan subrogasi dan evaluasi risiko yang lebih ketat. Regulasi seperti POJK 20/23 dan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) sebenarnya telah memberikan kerangka dasar yang baik untuk mengelola asuransi kredit.
Namun, ia juga mencatat adanya kebutuhan untuk:
- Peningkatan Standar Penilaian Risiko: Agar asuransi hanya diberikan pada mitra bisnis dengan risiko yang terukur.
- Transparansi Keuangan dan Klaim: Memastikan semua pihak memahami proses klaim dan subrogasi.
- Kerja Sama Mitra Bisnis dan Asuransi: Meningkatkan kolaborasi untuk mitigasi risiko gagal bayar.
Manfaat Utama Asuransi Kredit
Sebagai solusi keuangan, asuransi kredit membantu menjaga stabilitas arus kas kreditur meskipun tidak dapat melindungi secara langsung dari kepailitan debitur. Dalam jangka panjang, edukasi kepada pengguna asuransi kredit sangat penting agar mereka memahami batasan perlindungan dan cakupan yang ditawarkan.
Pelajaran dari Kasus Sritex
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya transparansi, regulasi yang ketat, dan edukasi berkelanjutan dalam asuransi kredit. Dengan langkah-langkah tersebut, perusahaan dapat lebih siap menghadapi risiko gagal bayar dan menjaga keberlanjutan operasional mereka.
Persiapan JRP-Insurance Sambut Asuransi Wajib Third Party Liability (TPL) 2025
PT Asuransi Jasaraharja Putera (JRP-Insurance) tengah mempersiapkan langkah strategis menyambut implementasi asuransi wajib Third Party Liability (TPL) untuk kendaraan bermotor yang direncanakan mulai berlaku pada 2025. Meski regulasi masih dalam proses finalisasi, JRP-Insurance telah menyiapkan berbagai aspek untuk mendukung kebijakan tersebut.
Produk Siap, Menanti Regulasi
Direktur Utama JRP-Insurance, Abdul Haris, mengungkapkan bahwa perusahaan sudah memiliki produk asuransi TPL yang siap diimplementasikan. Namun, langkah selanjutnya bergantung pada regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah. “Kami secara produk punya TPL. Tapi persiapan [wajib TPL] bukan kami, itu di regulator. Kami hanya menyiapkan produk dan akan mengikuti perkembangannya,” ujar Haris dalam media gathering di Jakarta, Rabu (18/12/2024).
Penguatan Infrastruktur dan Kerja Sama
Sementara itu, Corporate Secretary Head PT Jasaraharja Putera, Widya Marisa, menjelaskan berbagai persiapan yang dilakukan JRP-Insurance sambil menunggu regulasi turun. Salah satu langkah utamanya adalah memperkuat infrastruktur layanan dan memperluas kerja sama dengan mitra strategis.
“Infrastruktur dan kerja sama kami dengan rumah sakit-rumah sakit terus kami tingkatkan. Kami juga banyak mengikuti langkah PT Jasa Raharja sebagai induk perusahaan,” ungkap Widya. Selain itu, JRP-Insurance juga fokus memperkuat sumber daya manusia (SDM) di internal perusahaan agar siap mendukung implementasi kebijakan asuransi wajib TPL.
Widya menambahkan bahwa untuk detail lebih lanjut, JRP-Insurance masih menunggu arahan dari regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). “Kami bersama-sama menantikan regulasi ini, karena ingin memberikan yang terbaik bagi masyarakat Indonesia, terutama nasabah Jasaraharja Putera,” pungkas Widya.
AAUI Dorong Implementasi di 2025
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, mengungkapkan bahwa rencana implementasi asuransi wajib TPL ditargetkan pada semester II tahun 2025. Meski demikian, proses penerbitan regulasi masih berjalan panjang. “Draft regulasi sudah ada di Kementerian Keuangan, di Badan Kebijakan Fiskal [BKF]. Namun, hilalnya untuk peraturan pelaksanaannya masih belum terlihat,” kata Budi dalam pernyataan di kantor AAUI, Selasa (3/12/2024).
Budi juga mencatat bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang belum menerapkan asuransi wajib TPL. Hal ini menjadi perhatian khusus, mengingat potensi besar dari populasi kendaraan bermotor di tanah air. Meski begitu, pemerintah berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk memastikan kebijakan ini tidak membebani masyarakat, terutama di tengah tekanan inflasi yang tinggi.
“Harapannya, pada semester II/2025 asuransi wajib TPL sudah bisa berjalan. Namun, kami memahami kekhawatiran pemerintah terkait beban masyarakat yang cukup tinggi,” jelas Budi.
Menuju Layanan Asuransi yang Lebih Inklusif
Dengan populasi yang besar dan jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat, implementasi asuransi wajib TPL di Indonesia akan menjadi langkah penting dalam melindungi masyarakat dari risiko kecelakaan lalu lintas. Persiapan matang dari perusahaan seperti JRP-Insurance menunjukkan komitmen industri untuk mendukung kebijakan ini. Kini, masyarakat hanya perlu menunggu langkah regulator untuk merealisasikan kebijakan yang sudah dinanti-nantikan ini.
Untuk semua kebutuhan asuransi Anda, Hubungi Pialang Asuransi L&G Sekarang!
—
JANGAN BUANG WAKTU ANDA DAN AMANKAN FINANCIAL DAN BISNIS PERTAMBANGAN ANDA DENGAN ASURANSI YANG TEPAT.
HOTLINE L&G 24 JAM: 0811-8507-773 (PANGGILAN – WHATSAPP – SMS)
website: lngrisk.co.id
Email: customer.support@lngrisk.co.id
—