Industri asuransi di Indonesia tengah berada pada fase yang penuh tantangan. Dari perlambatan premi hingga perubahan perilaku konsumen, sektor ini dituntut untuk bergerak lebih cepat dan adaptif. Namun di balik situasi yang terlihat lesu, para pemangku kepentingan optimistis bahwa asuransi masih memegang peran penting dalam menjaga ketahanan ekonomi dan keuangan masyarakat. Mulai dari program literasi, inovasi produk, hingga transformasi teknologi, beragam upaya kini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik dan memperluas perlindungan risiko bagi seluruh lapisan masyarakat. Inilah rangkuman tujuh berita asuransi terupdate dan terlengkap di Indonesia, sebagai gambaran arah industri ke depan.
Masih Banyak yang Salah Paham! OJK Tegaskan Asuransi Bukan Beban, tapi Penyelamat Keuangan Keluarga
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menyerukan pentingnya meningkatkan literasi asuransi di tengah masyarakat. Edukasi tentang manfaat dan fungsi asuransi dinilai menjadi langkah awal membangun perlindungan finansial berkelanjutan bagi keluarga Indonesia.
Dalam program Obrolan Khusus Pro 4 RRI Makassar, hadir Kepala Divisi OJK Provinsi Sulselbar, Amiruddin Muhidu, bersama Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Cabang Makassar, Firman Baso, sebagai narasumber utama.
Keduanya sepakat bahwa literasi adalah kunci utama untuk memulihkan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap industri asuransi nasional.
Literasi Asuransi Masih Rendah
Amiruddin mengungkapkan, tingkat pemahaman masyarakat tentang asuransi di Indonesia masih tergolong rendah. Banyak yang menganggap asuransi hanya sebatas pengganti kerugian, padahal fungsinya jauh lebih luas.
“Asuransi bukan cuma soal ganti rugi, tapi soal kesiapan menghadapi risiko di masa depan,” tegas Amiruddin.
Ia menambahkan, masyarakat perlu mulai memandang asuransi sebagai bentuk perlindungan finansial, bukan beban pengeluaran tambahan.
Sinergi AAUI dan Media untuk Edukasi Publik
Sementara itu, Firman Baso, Ketua AAUI Cabang Makassar, menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga, media, dan masyarakat dalam memperluas jangkauan edukasi.
Menurutnya, pemahaman yang tepat akan membuat masyarakat lebih cerdas dan kritis dalam memilih produk asuransi yang sesuai kebutuhan.
“Kami ingin masyarakat tahu hak dan kewajibannya sebagai pemegang polis. Dari sana, kepercayaan terhadap industri ini bisa tumbuh lebih kuat,” ujar Firman.
Firman juga menambahkan bahwa industri asuransi kini tengah bertransformasi menjadi lebih transparan, mudah diakses, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern.
RRI Jadi Garda Terdepan Literasi Finansial
Dalam diskusi tersebut, peran media publik seperti RRI Pro 4 Makassar juga mendapat sorotan khusus. Media dinilai memiliki posisi strategis dalam menyebarkan informasi finansial yang akurat dan mudah dipahami, terutama bagi masyarakat di daerah yang belum banyak terpapar edukasi keuangan.
Melalui kolaborasi antara OJK, AAUI, dan RRI, diharapkan kesadaran literasi keuangan dan asuransi masyarakat dapat meningkat signifikan.
Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat akan lebih siap menghadapi risiko hidup, sekaligus membangun fondasi ekonomi keluarga yang tangguh dan mandiri.
Source: https://rri.co.id/daerah/1921038/ojk-tekankan-pentingnya-literasi-asuransi-masyarakat
Biaya Asuransi Kesehatan Karyawan di Asia Bakal Naik Lagi 2026! Ini Negara yang Paling Terdampak Menurut Aon
Biaya program asuransi kesehatan karyawan di kawasan Asia-Pasifik (APAC) diperkirakan naik sebesar 11,3 persen pada tahun 2026, menurut laporan terbaru Aon. Kenaikan ini menunjukkan tanda-tanda stabilisasi setelah dua tahun terakhir mengalami lonjakan tajam.
Melansir Insurance Asia, Kamis (23/10/2025), biaya kesehatan global juga diproyeksikan meningkat 9,8 persen. Kepala Sumber Daya Manusia APAC Aon, Tim Dwyner, menyebutkan bahwa tantangan terbesar bagi pemberi kerja adalah beralih dari pendekatan reaktif terhadap biaya menjadi strategi kesehatan yang lebih proaktif dan berkelanjutan.
“Ketika perusahaan menghadapi transformasi tenaga kerja, membangun program manfaat karyawan yang tangguh akan menjadi kunci dalam menjaga kesejahteraan tenaga kerja mereka,” ujar Dwyner.
Menurut laporan tersebut, beberapa pasar utama seperti China, India, Singapura, Filipina, dan Vietnam diperkirakan mengalami kenaikan yang lebih moderat dibandingkan tahun sebelumnya.
- China: 7,8 persen (turun dari 8 persen)
- India: 11,5 persen (turun dari 13 persen)
- Singapura: 13 persen (turun dari 14 persen)
- Filipina: 14 persen (turun dari 15 persen)
- Vietnam: 12,2 persen (turun dari 12,9 persen)
Aon mencatat sekitar sepertiga pasar di kawasan APAC memperkirakan tren biaya medis yang lebih rendah, dipengaruhi oleh menurunnya penggunaan layanan kesehatan serta inisiatif kesejahteraan (wellness programs) yang semakin aktif dilakukan perusahaan.
Namun demikian, sebagian besar wilayah lainnya masih menghadapi tekanan biaya tinggi, terutama akibat penyakit kronis, peningkatan penggunaan layanan medis, serta kenaikan harga teknologi medis. Penyakit seperti kardiovaskular, gangguan pencernaan, dan kanker tetap menjadi pendorong utama lonjakan biaya kesehatan.
Untuk merespons tren tersebut, banyak pemberi kerja kini mulai memperkenalkan manfaat fleksibel, program pengendalian biaya, serta inisiatif kesejahteraan karyawan sebagai bagian dari strategi jangka panjang mengelola biaya asuransi kesehatan.
Temuan ini berasal dari Laporan Tren Biaya Medis Global 2026 yang disusun oleh Aon, berdasarkan wawasan dari lebih dari 100 kantor konsultan yang menangani program asuransi kesehatan korporasi di berbagai negara.
Ketahanan Pangan Terancam, Askrindo Siapkan Solusi Asuransi Inovatif untuk Petani
Perubahan iklim kini memberi dampak nyata bagi sektor pertanian Indonesia. Data BPS mencatat produksi padi nasional turun 1,55%, dari 53,98 juta ton pada 2023 menjadi 53,14 juta ton di 2024. Kondisi ini menekan kesejahteraan petani dan mengancam ketahanan pangan nasional.
Menjawab tantangan tersebut, PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), anggota Holding IFG, menggandeng PT Tugu Insurance menghadirkan skema co-insurance pertanian berbasis teknologi Agritech. Inovasi ini menjadi solusi perlindungan finansial modern bagi petani di tengah perubahan iklim.
Langkah progresif tersebut mengantarkan Askrindo meraih posisi runner-up dalam ajang Call for Proposal – Inclusive Insurance Challenge Fund (IICF) 2025, yang diselenggarakan oleh AAUI dan UNDP IRFF. Penghargaan diserahkan dalam AAUI 29th Indonesia Rendezvous di Bali, dihadiri 800 delegasi dari 20 negara.
Direktur Bisnis Askrindo Budhi Novianto menjelaskan, produk ini dikembangkan untuk mempercepat pembayaran klaim dan menekan biaya administrasi. Tidak seperti model konvensional yang membutuhkan verifikasi lapangan, asuransi berbasis parametric memungkinkan klaim otomatis berdasarkan indikator seperti curah hujan atau hasil panen di bawah batas tertentu.
“Asuransi pertanian parametrik membuat proses klaim lebih cepat, transparan, dan efisien. Namun tetap memerlukan data akurat serta perancangan indeks yang tepat,” ujar Budhi.
Melalui inovasi ini, Askrindo berupaya menghadirkan asuransi pertanian yang adaptif, digital, dan inklusif, sejalan dengan misi pemerintah dalam memperkuat ketahanan pangan nasional.
“Kami optimistis teknologi Agritech dapat memperluas jangkauan perlindungan dan meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia,” tutup Budhi.
Premi Unit-Linked Turun 11%, Ini Pertanda Nasabah Lebih Cerdas dalam Memilih Asuransi
Produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit-linked mengalami penurunan premi yang cukup signifikan dalam dua tahun terakhir. Namun, di tengah tren penurunan tersebut, produk ini tetap menjadi bagian penting dalam portofolio industri asuransi jiwa di Indonesia.
Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), total premi unit-linked pada semester I/2025 mencapai Rp32,4 triliun, turun 11,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp36,68 triliun. Penurunan ini memang sedikit melambat dibandingkan semester I/2024 yang anjlok hingga 13,8% (year-on-year).
Meski demikian, para ahli menilai arah pasar asuransi kini mulai bergeser. Kapler Marpaung, Dosen Magister Manajemen FEB Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus pengamat industri asuransi, menegaskan bahwa prospek produk unit-linked ke depan sangat bergantung pada pembenahan internal perusahaan asuransi dan arah regulasi OJK.
“Unit-linked perlu dibenahi, terutama dalam hal pemilihan aset investasi (underlying asset). Untuk sementara, sebaiknya investasi tidak diarahkan ke saham karena risikonya terlalu tinggi dan kerap memicu gagal bayar,” ungkap Kapler.
Ia menambahkan, OJK perlu meninjau ulang kebijakan investasi unit-linked, agar sebagian besar dana ditempatkan pada instrumen pendapatan tetap atau aset yang lebih terlindungi. Langkah ini dinilai dapat mengembalikan kepercayaan publik setelah berbagai kasus gagal bayar di masa lalu.
Menariknya, tren pasar menunjukkan nasabah kini lebih memilih produk asuransi jiwa murni (protection) dibandingkan unit-linked. Pola pikir masyarakat mulai bergeser: bukan lagi mencari keuntungan investasi, melainkan perlindungan finansial jangka panjang.
“Sekarang nasabah membeli polis asuransi bukan karena iming-iming return tinggi, tapi karena ingin aman dan terlindungi,” tegas Kapler.
Bagi L&G Insurance Broker, fenomena ini menjadi sinyal positif bagi industri. Pergeseran minat masyarakat ke produk protection-based menunjukkan kesadaran baru akan pentingnya perlindungan risiko dibandingkan spekulasi investasi.
L&G juga menilai bahwa broker asuransi memiliki peran strategis dalam membantu nasabah memahami perbedaan antara produk proteksi murni dan unit-linked, serta memilih solusi asuransi yang paling sesuai dengan kebutuhan finansial dan profil risikonya.
Begini Potret Industri Keuangan di Era Prabowo-Gibran! Multifinance Lesu, Asuransi Pulih, Pinjol Tetap Tumbuh
Memasuki satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sektor keuangan non-bank Indonesia menunjukkan stabilitas, namun masih berjuang menghadapi tekanan daya beli masyarakat, perubahan regulasi, dan ketidakpastian ekonomi global.
Multifinance: Tumbuh Tipis, Tertekan Daya Beli
Berdasarkan data OJK, piutang pembiayaan industri multifinance mencapai rata-rata Rp504,6 triliun pada periode November 2024–Agustus 2025. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Maret 2025 sebesar 4,6% (YoY).
Namun, daya beli masyarakat yang menurun membuat pertumbuhan melambat. Sektor otomotif sebagai penopang utama juga menurun. Meski begitu, rasio pembiayaan bermasalah (NPF) masih aman di level 2,51%, jauh di bawah ambang batas 5%.
Asuransi: Mulai Pulih, Tapi Masih Lesu
Di sektor asuransi komersial, premi sempat turun di awal 2025, namun kembali tumbuh sejak April dan mencapai Rp219,52 triliun pada Agustus 2025. Premi asuransi jiwa masih menurun 1,21% (YoY), sedangkan asuransi umum dan reasuransi tumbuh 2,42%.
Klaim asuransi tercatat turun 5,33% menjadi Rp141,65 triliun, menandakan penurunan frekuensi klaim.
Sementara itu, asuransi non-komersial (BPJS, Taspen, Asabri) tumbuh 5,71% menjadi Rp127,19 triliun, meski nilai klaimnya lebih tinggi dari premi.
Regulator juga tengah menyiapkan aturan baru soal risk sharing (co-payment) dan pengembangan asuransi parametrik bencana yang dapat mencairkan klaim dalam waktu 7–14 hari.
Pinjaman Daring: Masih Tumbuh, Tapi Rentan Risiko
Di industri fintech lending, outstanding pembiayaan naik 21,6% (YoY) menjadi Rp87,61 triliun pada Agustus 2025, dengan rasio kredit macet (TWP90) terjaga di 2,6%.
Meski demikian, masih ada 9 dari 96 penyelenggara yang belum memenuhi modal minimum.
OJK juga terus menindak tegas entitas ilegal; sejak 2017, lebih dari 13.000 platform ilegal telah diblokir, termasuk 1.556 pinjol sepanjang 2025.
Kasus terbaru adalah gagal bayar Dana Syariah, yang tengah diawasi ketat OJK akibat kesulitan borrower membayar pinjaman.
Meski stabilitas terjaga di bawah pemerintahan baru, sektor non-bank masih menghadapi tantangan dari lemahnya daya beli, penyesuaian regulasi, dan risiko kredit. Pemerintah serta regulator perlu memperkuat reformasi dan pengawasan agar industri keuangan non-bank tetap tumbuh sehat dan berkelanjutan.
Asuransi Umum Lesu, Tapi Masih Punya Harapan! Ini Saran Pakar untuk Selamatkan Industri
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat premi asuransi umum dan reasuransi tumbuh 2,42% (YoY) menjadi Rp102,01 triliun per Agustus 2025. Laju tersebut melambat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai 12,89%, serta sedikit menurun dibandingkan Juli 2025 yang tumbuh 2,67%.
Menurut Wahyudin Rahman, praktisi manajemen risiko sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), perlambatan ini dipicu oleh aktivitas ekonomi domestik yang masih moderat, dampak inflasi, dan suku bunga tinggi yang menekan daya beli masyarakat. “Sektor otomotif, properti, dan pembiayaan yang selama ini jadi motor utama premi juga melambat,” jelasnya.
Selain itu, banyak perusahaan kini melakukan efisiensi dan penyesuaian tarif premi untuk menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas, terutama setelah lonjakan klaim di lini kesehatan dan kendaraan bermotor. “Jadi, bukan hanya faktor daya beli, tapi juga strategi underwriting dan manajemen risiko yang berperan besar,” tambah Wahyudin, yang juga menjabat sebagai Kadiv Transformasi dan Inisiatif Strategis PT Asuransi Asei Indonesia.
Ia menyoroti bahwa tantangan utama industri asuransi saat ini adalah menjaga profit di tengah pertumbuhan yang melambat, beban klaim tinggi, serta pasar reasuransi global yang sedang ketat (hardening market). Kapasitas reasuransi yang terbatas membuat perusahaan domestik perlu lebih berhati-hati dalam pengelolaan risiko.
Selain itu, Wahyudin menekankan masih rendahnya digitalisasi dan literasi asuransi, serta ketatnya persaingan tarif yang memaksa perusahaan terus berinovasi. Ia menyarankan agar pelaku industri memperkuat inovasi produk, memperluas penetrasi ke segmen ritel dan UMKM, serta berkolaborasi dengan sektor keuangan digital.
Pendekatan data-driven underwriting juga dinilai penting untuk meningkatkan akurasi risiko, sementara transparansi dan layanan klaim yang cepat akan menjaga kepercayaan nasabah. “Kepercayaan nasabah adalah fondasi pertumbuhan jangka panjang industri asuransi,” tegasnya.
Wahyudin memproyeksikan, hingga akhir 2025, pertumbuhan premi asuransi umum dan reasuransi akan berada di kisaran 4%—5%, sedikit di bawah target awal 6%—7%.
40% UMKM Gagal Bangkit Setelah Bencana, Solusinya Ada di Asuransi!
Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menegaskan bahwa asuransi memiliki peran vital dalam menjaga ketahanan ekonomi dan keberlanjutan usaha pelaku UMKM. Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, menyoroti pentingnya asuransi sebagai alat mitigasi risiko di tengah ketidakpastian ekonomi global dan meningkatnya dampak perubahan iklim terhadap dunia usaha.
“Di era seperti sekarang, asuransi bukan hanya pelindung, tapi juga penopang keberlanjutan usaha,” ujar Maman dalam keterangan resmi, Sabtu (18/10/2025).
Berdasarkan data Asian Development Bank (ADB) 2024, sektor UMKM terutama usaha mikro masih menjadi kelompok paling rentan terhadap guncangan ekonomi maupun bencana. Fakta menunjukkan, 40% UMKM tidak mampu bertahan setelah bencana, dan 25% baru bisa pulih setelah lebih dari dua tahun.
Namun, hanya sekitar 2,96% UMKM di Indonesia yang memiliki asuransi kebencanaan, sementara lebih dari separuh (53%) sama sekali tidak memiliki rencana darurat menghadapi risiko bencana.
Maman menegaskan bahwa asuransi harus dipahami bukan hanya sebagai perlindungan finansial, tetapi juga motivasi untuk bangkit setelah usaha terdampak. Ia pun menyoroti rendahnya tingkat literasi dan inklusi asuransi di kalangan pelaku usaha kecil.
“Rendahnya literasi asuransi bukan sekadar masalah pengetahuan, tapi juga persoalan ketahanan bisnis,” ujarnya.
Lebih lanjut, Maman menjelaskan bahwa asuransi juga berperan penting dalam mendukung pembiayaan produktif pemerintah, seperti program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Melalui perlindungan asuransi, penyaluran pembiayaan diharapkan semakin aman dan berkelanjutan.
Hingga 17 Oktober 2025, penyaluran KUR telah mencapai Rp217,1 triliun untuk 3,69 juta pelaku UMKM, di mana 60,6% atau sekitar Rp129 triliun disalurkan ke sektor produksi guna mendorong efek ekonomi berganda bagi perekonomian nasional.
“Jika sektor produksi terus diperkuat melalui pembiayaan dan perlindungan asuransi, manfaat ekonominya akan semakin luas,” tambah Maman.
Ia menutup dengan optimisme bahwa kolaborasi antara pemerintah, industri asuransi, dan pelaku UMKM akan menjadi kunci terciptanya pembiayaan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Asuransi adalah fondasi penting untuk memastikan UMKM bisa bertahan, tumbuh, dan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Perjalanan industri asuransi nasional masih panjang, namun titik terang mulai terlihat. Transformasi digital, peningkatan literasi, dan dukungan regulasi menjadi fondasi untuk menghadirkan layanan asuransi yang lebih cepat, transparan, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Para ahli menegaskan bahwa kunci kebangkitan ada pada kemampuan pelaku industri menjaga kepercayaan nasabah dan mengedepankan perlindungan sebagai tujuan utama. Dengan sinergi antara pemerintah, industri, media, dan masyarakat, asuransi tidak hanya akan pulih—tetapi juga tumbuh menjadi pilar penting dalam ketahanan ekonomi Indonesia.

