Para pembaca dan Sobat L&G yang kami hormati, setelah pada tulisan pertama kita memahami bagaimana faktor alam dan cuaca ekstrem memicu bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera, pada artikel kedua ini kita akan melihat sisi lain yang tak kalah penting: peran manusia. Sebab kenyataannya, di banyak wilayah, hujan ekstrem hanya menjadi pemantik. Besarnya dampak yang terjadi sangat dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan terhadap lingkungan, hutan, sungai, dan ruang hidup kita sendiri. Artikel ini mengajak kita melihat lebih jernih bagaimana kerusakan ekologis dan pengelolaan ruang yang buruk membuat bencana alam berubah menjadi tragedi kemanusiaan.
Hujan Bukan Satu-Satunya Penyebab
Hujan deras memang turun tanpa henti selama berjam-jam di banyak wilayah Sumatera. Namun, jika kita melihat lebih dalam, banjir bandang dan longsor yang melanda bukan hanya akibat alam semata. Banyak warga bercerita bahwa air datang lebih cepat dari biasanya, membawa lumpur pekat, batang pohon besar, bahkan bebatuan dari hulu. Ini adalah tanda jelas bahwa ada sesuatu yang salah di hutan dan di daerah tangkapan air.
Bencana ini memberi pesan penting: ketika alam menguji, kondisi lingkungan yang rusak memperparah segalanya. Dan di titik inilah manusia memegang peran besar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Deforestasi: Ketika Penjaga Lereng Menghilang
- Hilangnya Pohon, Hilangnya Penyangga Alam
Hutan adalah penjaga alami. Akar-akar pohon menahan tanah agar tidak mudah longsor, menyerap air hujan, dan memperlambat aliran air menuju sungai. Namun di banyak wilayah Sumatera, tutupan hutan menyusut secara signifikan.
Data Global Forest Watch menunjukkan bahwa Sumatera kehilangan lebih dari 2,3 juta hektar hutan dalam dua dekade terakhir. Akibatnya:
- Air hujan turun langsung ke tanah tanpa penahan.
- Tanah jenuh lebih cepat dan mudah runtuh.
- Sungai menerima volume air jauh lebih besar dalam waktu lebih singkat.
Saat hujan ekstrem turun, wilayah yang dahulu aman kini berubah menjadi zona rawan.
- Perkebunan Monokultur: Bukan Pengganti Hutan
Sebagian daerah hulu telah berubah menjadi perkebunan monokultur — terutama kelapa sawit.
Masalahnya:
- Pohon sawit memiliki akar serabut yang tidak kuat menahan struktur tanah.
- Lahan sawit cenderung memantulkan air hujan lebih cepat ke sungai.
- Biodiversitas berkurang, kualitas tanah menurun.
Hasilnya: longsor lebih mudah terjadi.
Alih Guna Lahan: Perkebunan, Tambang, dan Permukiman Tidak Terencana
- Aktivitas Pertambangan di Hulu
Tambang terbuka menciptakan lereng-lereng besar yang rentan longsor. Ketika hujan deras turun:
- Material tambang yang longgar mudah terbawa air.
- Saluran air di sekitar tambang sering tersumbat oleh sedimen.
- Sungai menerima limpasan air bercampur lumpur dalam jumlah besar.
Beberapa lokasi tambang yang tidak direklamasi dengan benar menjadi bom waktu ekologis.
- Perkebunan di Pinggir Sungai
Alih fungsi lahan dekat sungai mengurangi kemampuan sungai untuk “bernapas” saat debit meningkat. Hilangnya vegetasi alami di sempadan sungai mempercepat erosi.
- Permukiman yang Tumbuh Tanpa Tata Ruang
Banyak rumah dan warung dibangun di bantaran sungai, kaki bukit, atau lereng curam. Ketika bencana datang, wilayah tersebut menjadi korban pertama.
Tata Kelola Air yang Buruk: Ketika Sungai Tidak Lagi Mampu Mengalirkan Air
- Sedimentasi Sungai Tinggi
Sungai-sungai besar di Sumatera kini menerima lebih banyak sedimen akibat erosi dan pembukaan lahan. Akibatnya:
- Kapasitas sungai menurun.
- Dasar sungai naik.
- Air cepat meluap meskipun hujan belum mencapai puncaknya.
- Drainase Perkotaan yang Tidak Memadai
Di wilayah perkotaan:
- Saluran air tersumbat sampah.
- Kapasitas saluran tidak sesuai pertumbuhan kota.
- Permukaan tanah tertutup beton sehingga air tidak meresap.
Air akhirnya kembali masuk ke permukiman.
- Minimnya Ruang Resapan Air
Pohon ditebang, rawa dikeringkan, sawah dialihfungsikan, dan masyarakat tak lagi memiliki buffer zone alamiah untuk menampung air hujan.
Analisis Pakar Hidrologi: Catchment Area Kita Sedang “Sakit”
Para hidrolog dan ahli lingkungan menyebut Sumatera berada dalam kondisi yang rentan akibat kerusakan daerah tangkapan air (catchment area degradation).
Mereka menjelaskan:
- Ketika hulu rusak, air mengalir lebih cepat (peak flow).
- Waktu antara hujan dan banjir menjadi semakin pendek.
- Sungai tidak sempat mengakomodasi kenaikan debit.
- Longsor terjadi bahkan tanpa hujan ekstrem.
Dalam bahasa sederhana:
“Sungai marah karena hutan yang menenangkannya hilang.”
Pola Global: Indonesia Tidak Sendirian
Bencana yang diperparah ulah manusia bukan hanya terjadi di Sumatera. Berikut beberapa contoh dunia:
- Filipina
Kerusakan hutan akibat illegal logging membuat banyak wilayah mengalami banjir besar setiap musim hujan.
- Nepal
Deforestasi menghancurkan kestabilan tanah Himalaya. Longsor menjadi ancaman rutin.
- Brazil (Recife, 2022)
Banjir besar terjadi akibat hujan ekstrem + penebangan hutan Amazon.
- India (Kerala, 2018)
Badai monsoon yang kuat menimbulkan bencana jauh lebih besar karena kerusakan lingkungan.
Pola yang sama terlihat:
Hujan ekstrem → hutan rusak → banjir besar → korban meningkat.
Ketika Faktor Alam dan Faktor Manusia Bertemu: Kombinasi Sempurna untuk Bencana Besar
Dampak banjir–longsor Sumatera 2025 menjadi sangat parah karena:
- Hujan ekstrem paling tinggi dalam 20 tahun
- Kerusakan hutan di hulu
- Pertambangan dan perkebunan yang membuka lahan besar-besaran
- Sungai yang dangkal akibat sedimentasi
- Permukiman tumbuh tanpa tata ruang yang kuat
- Minimnya mitigasi dan peringatan dini
Alam yang memulai — manusia yang memperparah.
Pelajaran Penting untuk Masa Depan
Bencana ini mengajarkan kita bahwa:
- Alam tidak dapat dikendalikan, tetapi dampaknya bisa dikelola.
- Lingkungan yang sehat adalah perlindungan alam terbaik.
- Tata ruang yang benar menyelamatkan nyawa dan harta.
- Manajemen risiko harus menjadi budaya, bukan reaksi setelah bencana.
Sebagai pihak yang bergerak dalam dunia risiko dan asuransi, kami melihat dengan jelas bahwa mitigasi bencana tidak bisa hanya bergantung pada alat atau teknologi. Ia harus dimulai dari cara kita memperlakukan bumi.
Mengembalikan Keseimbangan yang Hilang
Banjir dan longsor Sumatera 2025 adalah peristiwa yang menyakitkan, tetapi juga membuka mata kita. Alam memberi pesan keras bahwa kerusakan lingkungan tidak hanya merusak hutan, tetapi juga merusak kehidupan manusia. Kita tidak bisa menghentikan hujan, tetapi kita bisa menghentikan penyebab lain yang memperparah dampaknya.
Pada artikel selanjutnya, kita akan membahas secara rinci kerusakan, kehilangan, dan nilai kerugian yang terjadi — agar kita memahami betapa besar harga yang harus dibayar ketika keseimbangan alam terganggu.
—
JANGAN BUANG WAKTU ANDA DAN AMANKAN FINANCIAL DAN BISNIS ANDA DENGAN ASURANSI YANG TEPAT.
HOTLINE L&G 24 JAM: 0811-8507-773 (PANGGILAN – WHATSAPP – SMS)
Website: lngrisk.co.id
Email: halo@lngrisk.co.id
—

