Liga Asuransi – Industri asuransi di Indonesia tengah menghadapi gelombang perubahan besar dengan hadirnya berbagai regulasi baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari aturan permodalan minimum yang mengancam keberlangsungan 27 perusahaan asuransi hingga kebijakan asuransi third party liability (TPL) yang menuai pro dan kontra, setiap kebijakan baru membawa dampak signifikan bagi pelaku industri, pemegang polis, dan perekonomian nasional. Di tengah ketidakpastian ini, para pemangku kepentingan berupaya mencari solusi dan menavigasi perubahan demi memastikan keberlanjutan industri asuransi di masa depan. Simak rangkuman berita asuransi terbaru yang akan memberikan wawasan mendalam mengenai tantangan dan peluang yang ada.
Dampak Asuransi TPL Wajib: Perlindungan atau Beban Ekonomi?
Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis hasil riset mengenai dampak negatif penerapan asuransi kendaraan wajib yang mencakup third party liability (TPL). Studi ini memproyeksikan bahwa kebijakan tersebut dapat mengurangi output ekonomi sebesar Rp68,3 triliun, menurunkan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp21 triliun, serta menyebabkan penurunan pendapatan masyarakat sebesar Rp20,7 triliun. Selain itu, penyerapan tenaga kerja diperkirakan berkurang hingga 3,4 juta orang.
Namun, penelitian ini mendapat tanggapan dari Wahyudin Rahman, seorang praktisi manajemen risiko sekaligus Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi). Kupasi sendiri merupakan anggota luar biasa Dewan Asuransi Indonesia (DAI). Wahyudin mempertanyakan kesimpulan yang diambil dalam riset tersebut, dengan menegaskan bahwa asuransi TPL justru memberikan perlindungan finansial yang signifikan. Ia menjelaskan bahwa premi yang dibayarkan bisa mencegah kerugian lebih besar akibat tuntutan hukum atau ganti rugi kecelakaan. Selain itu, menurutnya, pembayaran premi asuransi bukan sekadar pengurangan konsumsi, melainkan pengalihan belanja ke bentuk proteksi.
Lebih lanjut, Wahyudin menilai bahwa studi Celios tidak mempertimbangkan efek berganda (multiplier effect) dari industri asuransi. Menurutnya, sektor ini berpotensi menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya saing ekonomi. Ia juga membantah anggapan bahwa premi TPL akan menjadi beban bagi masyarakat menengah ke bawah, dengan menyebutkan bahwa tarif premi TPL relatif kecil, berkisar antara Rp10.000 hingga Rp600.000 per tahun, tergantung pada batas pertanggungan yang dipilih. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan potensi kerugian akibat kecelakaan.
Selain itu, Wahyudin menegaskan bahwa kebijakan ini akan diterapkan secara bertahap bagi pemilik kendaraan roda empat atau lebih. Dengan pendekatan bertahap tersebut, asuransi TPL tidak seharusnya dianggap sebagai beban, melainkan sebagai bentuk dana darurat dan perencanaan keuangan. Ia menganalogikan premi asuransi seperti tabungan yang dapat digunakan untuk menanggulangi risiko kecelakaan, terutama bagi masyarakat dengan penghasilan terbatas yang dapat mengalami kesulitan jika harus menanggung biaya kerusakan atau ganti rugi akibat kecelakaan.
Di sisi lain, Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menegaskan bahwa penelitian mereka memperhitungkan dampak jangka panjang hingga 2045. Ia menyoroti bahwa kebijakan wajib asuransi TPL, meskipun memiliki tujuan baik dalam memberikan perlindungan finansial bagi pemilik kendaraan dan korban kecelakaan, tetap berisiko menambah beban ekonomi masyarakat. Huda juga menyebutkan bahwa pendapatan daerah dari sektor penyediaan makanan dan minuman diperkirakan mengalami penurunan hingga Rp354 miliar akibat kebijakan ini.
Melihat potensi dampak ekonomi yang luas, Celios merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan kembali implementasi kebijakan asuransi TPL wajib dengan memperhatikan dampak sosial dan ekonomi yang mungkin timbul. Perdebatan ini menunjukkan perlunya kajian lebih lanjut untuk memastikan keseimbangan antara perlindungan finansial dan dampak ekonomi bagi masyarakat luas.
Jiwasraya Resmi Ditutup 2025! Pensiunan Tagih Hak Rp371,79 Miliar
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) kini tinggal kenangan. Perusahaan asuransi pelat merah ini dipastikan akan resmi ditutup pada tahun 2025. Keputusan ini menandai akhir dari perjalanan panjang Jiwasraya setelah bertahun-tahun menghadapi krisis keuangan yang berkepanjangan.
Hingga tahun 2023, aset neto Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Jiwasraya tercatat sebesar Rp96,07 miliar. Namun, nilai aktuaria yang seharusnya dimiliki mencapai Rp467,86 miliar, sehingga terdapat selisih sebesar Rp371,79 miliar. Kekurangan dana ini kini menjadi tuntutan utama dari Perkumpulan Pensiunan Jiwasraya (PPJ) Pusat, yang meminta agar hak mereka segera dipenuhi.
Lutfi, perwakilan dari PPJ, menjelaskan bahwa ada tiga sumber utama yang akan digunakan untuk pembayaran kekurangan tersebut. Pertama, pencairan sisa aset DPPK yang mencakup kepemilikan saham dan aset lainnya. Kedua, dana dari hasil penjualan aset yang tersisa. Ketiga, pencairan aset yang masih dalam proses likuidasi.
Meskipun pemerintah telah berupaya menyelamatkan Jiwasraya melalui berbagai skema restrukturisasi, kenyataan pahit tetap tak terhindarkan. Kini, para pensiunan berharap agar hak mereka dapat segera dilunasi sebelum perusahaan resmi ditutup. Bagaimana nasib para pensiunan selanjutnya? Publik masih menunggu kepastian dari pihak terkait!
Source: https://keuangan.kontan.co.id/news/manajemen-sebut-asuransi-jiwasraya-resmi-akan-bubar-tahun-ini
OJK Prediksi Pertumbuhan Asuransi Jiwa 2025 Hanya 2%-4%, Ada Apa?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan pertumbuhan aset industri asuransi jiwa pada 2025 hanya berada di kisaran 2%-4%. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan asuransi umum yang diperkirakan mencapai 8%-10% serta dana pensiun yang diproyeksikan tumbuh 9%-11%.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menegaskan bahwa pertumbuhan industri asuransi tidak bisa hanya bergantung pada upaya masing-masing perusahaan, melainkan memerlukan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan. Ia menekankan pentingnya sinergi antara kementerian dan lembaga yang mengeluarkan kebijakan dalam bentuk undang-undang maupun regulasi sebagai pendukung industri ini. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam acara Regulatory Dissemination Day 2025 di Jakarta, Senin (3/2/2025).
Menanggapi prediksi tersebut, Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu, menyatakan bahwa industri asuransi jiwa saat ini masih dalam masa transisi akibat berbagai perubahan regulasi, terutama yang berkaitan dengan Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) atau unit-linked. Menurutnya, perubahan aturan, khususnya terkait agen pemasaran, membutuhkan waktu sosialisasi yang cukup panjang.
“Sistem di PAYDI itu kompleks. Jika ada perubahan regulasi, terutama dalam pemasaran oleh agen, tentu harus ada sosialisasi yang luas. Proses ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, bahkan satu tahun pun belum cukup,” jelas Togar.
Selain regulasi, ia juga menyoroti aturan kewajiban perekaman dalam pemasaran asuransi, yang dinilai dapat membuat calon pemegang polis merasa ragu atau enggan membeli. Ia menambahkan bahwa rekaman suara tidak dianggap sebagai bukti sah di pengadilan, berbeda dengan tanda tangan pemegang polis yang memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat.
Tantangan lainnya adalah penerapan standar akuntansi internasional IFRS 17 atau PSAK 117 yang mulai berlaku pada Januari 2025. Togar menyebutkan bahwa sistem akuntansi baru ini akan mengubah cara pelaporan keuntungan dan kerugian dalam industri asuransi jiwa.
“Penerapan PSAK 117 ini akan membawa perubahan besar. Ada yang terlihat untung, ada yang seolah rugi, padahal secara operasional tidak ada perubahan signifikan. Ini bisa memengaruhi persepsi industri asuransi,” ungkapnya.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Togar memproyeksikan bahwa pertumbuhan aset asuransi jiwa pada tahun ini kemungkinan masih akan berada di bawah 5%. Namun, ia tetap optimistis bahwa pendapatan industri akan meningkat, terutama karena semakin banyak pelaku yang mulai menjual produk unit-linked dan PAYDI.
Berdasarkan data OJK, total aset industri asuransi per Desember 2024 mencapai Rp1.133,87 triliun. Sementara itu, AAJI mencatat bahwa total aset industri asuransi jiwa per Januari-September 2024 sebesar Rp630,12 triliun, tumbuh 3,2% dibandingkan dengan Rp610,79 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Di sisi lain, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) melaporkan bahwa aset asuransi umum mencapai Rp234,84 triliun, meningkat 14,12% secara tahunan (YoY). Aset reasuransi juga tumbuh 5,29% menjadi Rp39,82 triliun. Sementara itu, total aset industri dana pensiun mencapai Rp1.508,21 triliun per Desember 2024, naik 7,31% dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan situasi yang masih penuh tantangan, pelaku industri asuransi jiwa kini menghadapi tugas berat untuk menyesuaikan diri dengan regulasi baru serta meningkatkan kepercayaan masyarakat. Akankah sektor ini mampu bangkit di tengah tekanan? Kita tunggu perkembangan selanjutnya!
Regulasi Baru OJK: Transformasi Besar di Industri Asuransi, Siapa yang Bertahan?
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) semakin gencar memperkuat sektor perasuransian dengan menerapkan regulasi baru. Sepanjang 2023–2024, OJK melalui sektor Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PPDP) telah menerbitkan 18 Peraturan OJK (POJK) dan 10 Surat Edaran OJK (SEOJK). Sebagian besar dari regulasi ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang berfokus pada penguatan industri perasuransian.
OJK Fokus Perbaikan Tata Kelola dan Permodalan
Kepala Eksekutif Pengawas PPDP OJK, Ogi Prastomiyono, menegaskan bahwa regulasi baru ini bertujuan untuk memperkuat sektor asuransi dari aspek tata kelola, manajemen risiko, dan permodalan. Menurutnya, regulasi yang sebelumnya ada masih belum cukup untuk menciptakan industri yang lebih kuat.
“Regulasi baru ini untuk memperkuat governance, risk management, dan capital adequacy. Kami juga menekankan pentingnya enforcement agar regulasi ini benar-benar efektif,” ujar Ogi dalam acara Regulatory Dissemination Day 2025 di Jakarta, Senin (3/2/2025).
Ogi menekankan bahwa regulasi yang diterbitkan telah melalui berbagai tahapan, termasuk konsultasi dengan pelaku usaha dan asosiasi, serta harmonisasi dengan kementerian terkait. Tujuan utama dari aturan ini adalah memastikan industri asuransi dapat bertahan dalam jangka panjang dan memiliki daya saing yang kuat.
Tantangan Permodalan dan Solusi OJK
Salah satu tantangan utama dalam industri asuransi adalah kapasitas keuangan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada pemegang polis. OJK menetapkan aturan peningkatan ekuitas perusahaan asuransi secara bertahap untuk memastikan industri tetap stabil.
“Kami menerapkan peningkatan ekuitas dalam dua tahap, yaitu akhir 2026 dan akhir 2028. Saat ini, sebagian besar perusahaan sudah memenuhi target pertama, tetapi masih ada yang belum mencapainya. Kami memberikan berbagai alternatif, seperti mencari mitra strategis atau bergabung dalam Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA),” jelas Ogi.
Skema KUPA ini memungkinkan perusahaan asuransi dengan modal terbatas untuk bergabung dengan perusahaan lain yang memiliki ekuitas lebih besar, mirip dengan Kelompok Usaha Bank (KUB) di sektor perbankan. Langkah ini memberikan solusi bagi perusahaan yang belum memenuhi modal minimum agar tetap dapat beroperasi tanpa harus ditutup secara langsung.
Respons AAJI: Industri Masih dalam Masa Transisi
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu, menyambut baik kebijakan OJK terkait peningkatan permodalan. Ia menilai bahwa roadmap industri asuransi sejauh ini sejalan dengan kebijakan OJK, sehingga tidak seharusnya menjadi isu besar bagi perusahaan asuransi.
“Perusahaan asuransi yang belum memenuhi modal minimum bisa membentuk KUPA, sehingga tidak harus langsung ditutup. Ini memberikan kepastian bagi industri dan perlindungan bagi pemegang polis,” kata Togar.
Selain permodalan, Togar juga menyoroti tantangan terkait regulasi baru, seperti perubahan aturan mengenai Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI) atau unit-linked. Menurutnya, sistem dalam produk ini cukup kompleks, dan perubahan regulasi membutuhkan waktu sosialisasi yang panjang agar semua pihak memahami aturan baru.
Ia juga menilai bahwa pertumbuhan industri asuransi jiwa yang hanya mencapai 2%–4% pada tahun lalu masih dalam batas wajar, mengingat industri sedang dalam masa transisi. Namun, ia optimistis bahwa pada 2025 pertumbuhan akan membaik seiring dengan penerapan standar akuntansi baru PSAK 117.
“Januari 2025, PSAK 117 mulai berlaku, dan ini akan mengubah banyak hal. Kita berharap perubahan ini tidak semakin memperlambat pertumbuhan industri,” ujar Togar.
Optimisme OJK: Industri Asuransi akan Pulih di 2025
Meski industri masih menghadapi tantangan besar, OJK tetap optimis bahwa tahun 2025 akan menjadi tahun pemulihan. Ogi memproyeksikan bahwa aset industri asuransi umum bisa tumbuh 8%–10%, asuransi jiwa 2%–4%, dan dana pensiun tumbuh lebih tinggi, yakni 9%–11%.
Namun, pertumbuhan ini hanya bisa tercapai jika ada sinergi antara seluruh pemangku kepentingan. “Kami tidak hanya menunggu, tetapi juga menjemput bola. Kolaborasi adalah kunci agar industri ini bisa bangkit lebih cepat,” tutup Ogi.
Dengan berbagai regulasi baru yang diterapkan, industri asuransi di Indonesia tengah memasuki fase transformasi besar. Pertanyaannya, apakah semua perusahaan siap bertahan dan beradaptasi? Hanya waktu yang akan menjawab!
Putusan MK Bikin Polis Asuransi Harus Direvisi, Perusahaan Tak Bisa Lagi Batalkan Sepihak!
Dunia asuransi Indonesia sedang mengalami perubahan besar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional. Keputusan ini mengguncang industri asuransi karena menghapus dasar hukum bagi perusahaan asuransi untuk membatalkan polis secara sepihak. Kini, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) kompak melakukan revisi terhadap polis asuransi agar sesuai dengan regulasi baru.
Tak Bisa Lagi Batalkan Polis Sepihak, Perusahaan Wajib Patuhi Aturan Baru!
Direktur Eksekutif AAJI, Togar Pasaribu, menegaskan bahwa keputusan MK memperkuat prinsip utmost good faith atau itikad baik, yang berarti pembatalan polis hanya bisa dilakukan dengan kesepakatan kedua belah pihak atau melalui jalur pengadilan. Togar menyoroti bahwa banyak pihak masih bingung membedakan antara pembatalan polis dan penolakan klaim. “Yang diputuskan MK ini adalah tentang pembatalan polis, bukan penolakan klaim,” jelasnya saat ditemui di Jakarta pada Selasa (4/2/2025).
Dengan aturan baru ini, polis tidak bisa lagi dibatalkan begitu saja oleh perusahaan asuransi. Oleh karena itu, AAJI tengah mengkaji bagaimana mekanisme pembatalan polis akan diterapkan ke depannya. “Pertanyaannya, kapan polis bisa dibatalkan? Sebelum atau sesudah klaim? Kalau setelah klaim, itu namanya bukan pembatalan, melainkan penuntutan. Jadi, satu-satunya logika adalah pembatalan harus dilakukan sebelum klaim,” terang Togar.
Sebagai solusi, AAJI berencana menyesuaikan dokumen Surat Pengajuan Asuransi Jiwa (SPAJ), polis, atau bahkan menambahkan lembar khusus yang mengatur klausul pembatalan polis. Namun, diskusi masih berlangsung untuk menentukan format yang paling efektif.
AAUI Ikut Bergerak! Evaluasi Polis Segera Dilakukan
Ketua Umum AAUI, Budi Herawan, juga menegaskan bahwa asosiasi asuransi umum akan segera mengevaluasi seluruh polis yang saat ini beredar. “Kami di AAUI langsung bergerak untuk melakukan evaluasi terhadap polis-polis yang ada, baik yang masih berlaku maupun yang akan diterbitkan,” ujar Budi dalam wawancara dengan CNBC Indonesia pada Selasa (21/1/2025).
Proses revisi ini ditargetkan rampung dalam waktu satu bulan. Setelah itu, hasil revisi akan didiskusikan dengan regulator untuk mendapatkan persetujuan final sebelum diterapkan secara luas.
OJK: Klausul Polis Harus Lebih Transparan dan Mudah Dipahami!
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyambut baik putusan MK ini dan menekankan pentingnya perbaikan dalam klausul polis, terutama yang berkaitan dengan pembatalan. OJK mendorong industri asuransi untuk memastikan bahwa setiap klausul dalam polis lebih transparan dan mudah dimengerti oleh nasabah.
Selain itu, OJK juga meminta agar klausul pembatalan dan pembatasan hak dimasukkan ke dalam dokumen Surat Permohonan Asuransi (SPA) agar calon pemegang polis memahami hak dan kewajiban mereka sejak awal.
Kesimpulan: Industri Asuransi Berbenah Besar-Besaran!
Putusan MK ini membawa dampak besar bagi industri asuransi di Indonesia. Perusahaan asuransi tidak lagi bisa membatalkan polis secara sepihak, dan revisi besar-besaran terhadap dokumen polis pun tengah dilakukan. Dengan adanya perubahan ini, diharapkan perlindungan terhadap pemegang polis semakin kuat dan transparansi dalam industri asuransi semakin meningkat.
Bagi para pemegang polis, ini adalah kabar baik! Anda tidak perlu lagi khawatir polis Anda tiba-tiba dibatalkan tanpa persetujuan. Namun, tetaplah cermat membaca setiap ketentuan dalam polis yang baru agar tidak terjadi kesalahpahaman di masa mendatang!
Grha AAJI Rampung! Pusat Inovasi dan Pendidikan Asuransi Siap Beroperasi
Pembangunan gedung Grha Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) resmi mencapai tahap akhir. Pada Selasa (4/2/2025), AAJI menggelar acara topping off yang menjadi penanda selesainya fase utama konstruksi gedung yang berlokasi di Jl. Fatmawati Raya No. 14 ini. Dirancang sebagai pusat inovasi dan edukasi bagi industri asuransi jiwa, Grha AAJI diharapkan menjadi wadah kolaborasi bagi berbagai pemangku kepentingan.
Acara ini dihadiri oleh sekitar 100 tamu undangan, termasuk dewan pengurus AAJI, pejabat daerah, serta awak media. Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, menyampaikan bahwa pembangunan Grha AAJI lahir dari semangat untuk meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di sektor asuransi.
“Ide pembangunan ini terinspirasi dari arahan Ketua OJK pertama, Bapak Muliaman D. Hadad, yang menekankan pentingnya center of excellence dalam industri asuransi. Kami ingin Grha AAJI menjadi pusat pendidikan yang dapat dimanfaatkan tidak hanya oleh industri asuransi jiwa, tetapi juga asuransi umum, syariah, dan broker,” ujar Budi.
Pusat Pelatihan dan Sertifikasi Asuransi
AAJI kini semakin fokus pada peningkatan kualitas SDM di industri asuransi. Melalui Grha AAJI, asosiasi akan rutin menggelar pelatihan, seminar, serta diskusi strategis guna memperkuat profesionalisme para pelaku industri. Dewan Pengawas AAJI, Firdaus Djaelani, menambahkan bahwa selama lebih dari dua dekade, AAJI telah menjadi wadah komunikasi dan peningkatan kompetensi bagi pelaku asuransi jiwa di Indonesia.
“Grha AAJI akan berfungsi sebagai pusat pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi bagi agen asuransi serta masyarakat luas. Dengan didukung oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Ahli Asuransi dan Jasa Indonesia (LSP AAJI), kami berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam membangun industri asuransi yang lebih profesional dan kompetitif,” jelas Firdaus.
Simbol Masa Depan Industri Asuransi Jiwa
Ketua Tim Pembangunan Grha AAJI, Wiroyo Karsono, mengungkapkan bahwa proyek ini telah melewati berbagai tahapan sejak groundbreaking hingga akhirnya mencapai tahap topping off sesuai jadwal yang ditetapkan. Tanah seluas 1.841 meter persegi yang terdiri dari tiga sertifikat lahan kini resmi menjadi aset AAJI.
“Kami memastikan setiap proses pembangunan berjalan dengan baik melalui kerja sama erat antara tim konstruksi, quantity surveyor, serta manajemen proyek. Gedung ini bukan hanya infrastruktur semata, tetapi simbol komitmen AAJI dalam membangun masa depan industri asuransi jiwa,” terang Wiroyo.
Diharapkan, Grha AAJI dapat mulai beroperasi pada akhir tahun 2025 dan memberikan dampak positif bagi industri maupun masyarakat luas. Dengan fasilitas modern dan konsep ramah lingkungan, gedung ini akan menjadi pusat edukasi, pelatihan, serta inovasi yang mendorong peningkatan literasi dan profesionalisme di sektor asuransi jiwa.
“Topping off ini menandai langkah maju industri asuransi dalam menciptakan ekosistem yang lebih profesional dan berdaya saing tinggi. Kami optimistis kehadiran Grha AAJI akan memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan industri asuransi jiwa di Indonesia,” tutup Wiroyo.
27 Perusahaan Asuransi Terancam! Regulasi Baru OJK Soal Modal Minimum Bisa Bikin Gulung Tikar?
Regulasi baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpotensi mengguncang industri asuransi umum di Indonesia. Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) No. 20/2023, perusahaan asuransi umum wajib memiliki ekuitas minimum Rp250 miliar agar dapat terus beroperasi dan memasarkan produk asuransi serta suretyship. Namun, kebijakan ini disebut dapat mengancam keberlangsungan 27 perusahaan asuransi yang belum memenuhi ketentuan modal minimum.
Direktur Utama PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), Fankar Umran, mengungkapkan bahwa dari total 72 perusahaan asuransi umum konvensional di Indonesia, sebanyak 27 di antaranya masih memiliki ekuitas di bawah Rp250 miliar. Meskipun kelompok ini hanya menyumbang sekitar 10% pangsa pasar premi asuransi umum, jumlahnya cukup signifikan, yakni mencapai 37,5% dari total perusahaan asuransi umum yang ada.
“Kelompok inilah yang paling terdampak dengan kebijakan ini. Dari 72 perusahaan, sebanyak 27 masih berada di bawah Rp250 miliar, sementara yang lainnya memiliki modal lebih besar,” ujar Fankar dalam webinar media asuransi pada Kamis (30/1/2025).
Di sisi lain, terdapat 17 perusahaan dengan modal di atas Rp1 triliun yang menguasai 62% pangsa pasar, sementara 7 perusahaan lainnya memiliki modal antara Rp500 miliar hingga Rp1 triliun dengan market share 9%. Selain itu, ada 21 perusahaan yang memiliki modal antara Rp250 miliar hingga Rp500 miliar, dengan pangsa pasar premi sebesar 19%.
Dampak Krisis dan Efek Limpahan Tertunda
Fankar juga menyoroti adanya “lagging spill over effect” atau efek limpahan tertunda akibat krisis ekonomi. Menurutnya, dampak krisis, seperti yang terjadi selama pandemi COVID-19 pada 2020, masih terasa hingga saat ini. Hal ini terbukti dari meningkatnya rasio klaim asuransi kredit, yang melonjak dari 61% pada 2019 menjadi 86% pada kuartal III tahun 2024.
Ia menegaskan bahwa meskipun penguatan modal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan stabilitas industri asuransi, regulasi ini juga harus tetap memberikan ruang pertumbuhan bagi perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi persyaratan modal minimum. “Penguatan modal memang diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang tetap memberikan kesempatan yang adil bagi semua perusahaan agar bisa terus bertahan,” tambahnya.
AAUI Minta Relaksasi ke OJK
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, mengungkapkan bahwa pihaknya telah bersurat kepada OJK untuk meminta relaksasi waktu dalam pemenuhan ekuitas minimum sebagaimana diatur dalam POJK 20/2023.
“Kami sudah mengajukan permohonan kepada OJK agar diberikan relaksasi waktu, minimal hingga akhir 2026. Namun, hingga saat ini, kami belum mendapatkan tanggapan dari regulator,” ungkap Budi.
AAUI berharap OJK memberikan kelonggaran waktu serupa dengan ketentuan dalam POJK 23 Tahun 2023, yang memberikan tahapan pemenuhan modal hingga 2026. Menurut Budi, ketidakpastian terkait implementasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117 juga menjadi tantangan tersendiri bagi industri asuransi umum.
“Jika OJK tidak memberikan relaksasi, nasib perusahaan-perusahaan ini bisa terancam. Oleh karena itu, kami terus memperjuangkan agar mereka diberikan kesempatan hingga 2026 untuk memenuhi persyaratan modal minimum,” tegasnya.
Dengan kebijakan ini, masa depan 27 perusahaan asuransi yang terdampak kini berada di tangan OJK. Apakah regulator akan memberikan kelonggaran atau tetap berpegang teguh pada aturan yang bisa membuat sebagian perusahaan gulung tikar? Kita tunggu perkembangan selanjutnya!
Artikel ini dipersembahkan oleh L&G Insurance Broker. Untuk semua kebutuhan asuransi Anda, Hubungi Pialang Asuransi L&G Insurance Broker Sekarang!
—
Jangan buang waktu anda dan amankan financial dan bisnis anda dengan asuransi yang tepat.
HOTLINE L&G 24 JAM: 0811-8507-773 (PANGGILAN – WHATSAPP – SMS)
website: lngrisk.co.id
Email: customer.support@lngrisk.co.id
—