Liga Asuransi – Sidang pembaca yang luar biasa. Sudah sampai pula kita di pekan terakhir di bulan September 2020. Kondisi bisnis masih belum bisa ditebak ke mana arahnya. Yang pasti suasananya masih dalam posisi terjepit antara mempertahankan bisnis yang ada dan mencari bisnis baru. Sambil berharap wabah COVID-19 ini segera ditemukan obat penawarnya.
Bulan ini industri perasuransian semakin tertekan baik asuransi umum ataupun asuransi jiwa. Penerimaan premi yang semakin seret dihadapkan dengan tingkat klaim yang semakin meninggi terutama dari produk asuransi finansial dan asuransi kesehatan dan jiwa. Penderitaan asuransi jiwa khususnya Jiwasraya dan Bumiputera terasa semakin berat karena tekanan dari nasabah untuk segera melunasi polis yang sudah jatuh tempo.
Laporan dari perusahaan reasuransi juga menunjukkan semakin meningginya beban klaim mulai bulan ini diperkirakan akan terus berlanjut hingga beberapa bulan ke depan. Tapi sayangnya peningkatan klaim tidak dibarengi oleh kenaikan penerimaan premi.
Kondisi industri perasuransian internasional juga tidak menggembirakan. Masalahnya hampir sama dengan yang kita hadapi. Dari beberapa informasi, ada sinyal bahwa tarif premi reasuransi akan dinaikkan untuk menutupi celah keuangan yang semakin terbuka lebar.
Seperti biasa, kami sudah pilihkan 7 berita asuransi pilihan minggu ini untuk Anda. Semoga informasi ini berguna untuk mengambil langkah yang tepat untuk solusi bisnis Anda. Jika anda tertarik dengan informasi ini silahkan di share kepada rekan-rekan Anda agar mereka juga paham seperti Anda.
Instagram: @taufik.arifin.31
- Pengamat: Pemilik Modal Bank dan Asuransi Bermasalah Harus Berani Tanggungjawab
Liputan6.com, Jakarta – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengingatkan jika peran industri keuangan dalam perekonomian nasional sangat besar.
Kegagalan menjaga stabilitas sistem keuangan akan memicu krisis ekonomi yang berkepanjangan dan biayanya akan sangat besar. Terutama di tengah pandemik yang saat ini tengah melanda tidak hanya di Indonesia tetapi juga di hampir semua negara.
Dia pun menyoroti mencuatnya berbagai permasalahan bank serta kasus gagal bayar klaim perusahaan asuransi yang terjadi sebelum OJK dibentuk kembali mengemuka di tengah pandemi.
Kondisi ini disebut ditengarai menjadi salah satu pemicu berkurangnya kepercayaan masyarakat dan juga pemerintah terhadap OJK.
“Berbagai kasus bank dan asuransi ini menutup semua prestasi OJK menjaga stabilitas sistem keuangan. Ibarat peribahasa hapus kemarau setahun oleh hujan sehari,” jelas dia dalam keterangannya, Senin (21/9/2020).
Dia mengingatkan jika permasalahan di perbankan dan asuransi sesungguhnya sejak awal sudah berlangsung lama. OJK pun memahami hal ini dan berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyelesaikannya.
“Namun demikian, permasalahan di perbankan dan asuransi tersebut sangat kompleks yang membutuhkan sinergi banyak pihak, dan lebih utama lagi ketegasan OJK menjalankan kewenangan yang ada di UU,” lanjut dia.
Dia mencontohkan pada kasus Bukopin yang sudah terjadi cukup lama dan lalu memuncak pada 2020. Masalah tersebut terbukti dapat diselesaikan ketika ada ketegasan OJK dalam menentukan strategi penyelesaian, yaitu pemegang saham bertanggung jawab setelah ada perintah tertulis OJK dengan membawa dana segar ke dalam Bukopin.
“Pola ini hendaknya dilanjutkan oleh OJK. Merujuk penyelesaian permasalahan di Bukopin, OJK harus tegas meminta pertanggungjawaban pemilik bank dan/atau asuransi yang saat ini masih bermasalah,” imbuh Piter.
Dia menyatakan, solusi utama atas berbagai permasalahan di perbankan dan asuransi adalah adanya suntikan dana segar atau tambahan modal dari pemilik atau dari investor baru.
- Dituding Gagal Bayar Sejak Oktober 2019, WanaArtha Buka Suara
Jakarta – Tim detikcom – detikFinance Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono sebelumnya mengungkapkan jika PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (WanaArtha Life) telah gagal bayar di bulan Oktober 2019. Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama WanaArtha Life Yanes Matulatuwa mengungkapkan informasi tersebut tidak benar.
“Kami melakukan penundaan pembayaran polis kepada nasabah sejak Sub Rekening Efek (SRE) kami diblokir pada tanggal 21 Januari 2020. Kami juga memiliki bukti pembayaran klaim kepada nasabah dari bulan Oktober 2019 hingga sebelum rekening efek diblokir,” kata Yanes dalam siaran pers, Sabtu (26/9/2020).
Yanes menyebut, Kejaksaan Agung juga keliru dengan membuat pernyataan bahwa pihak Kejaksaan Agung tidak pernah menyita uang nasabah WanaArtha Life melainkan saham atau reksa dana milik Benny Tjokro yang ada di WanaArtha Life.
Perlu untuk diketahui bahwa Kejaksaan Agung telah melakukan pemblokiran dan penyitaan terhadap Sub Rekening Efek (SRE) WanaArtha Life yang mana SRE tersebut berisikan dana kelolaan (titipan) milik pemegang polis.
Perusahaan asuransi menghimpun dana dari premi yang dibayarkan oleh pemegang polis. Selanjutnya, dana ini diinvestasikan dan dikelola melalui pihak ketiga terutama di pasar uang dan pasar modal yang wajib mengikuti protokol transaksi yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia.
“Benny Tjokro sama sekali bukanlah pemegang polis, investor apalagi pemegang saham WanaArtha Life. Benny Tjokro tidak memiliki aset apapun di WanaArtha Life,” ujarnya.
Yanes menyebut jika keterangan Jampidsus Ali Mukartono sangat tidak tepat dan tidak akurat terkait dengan ketidakmampuan pihak WanaArtha dalam membuktikan status keterkaitan rekening efek WanaArtha Life dengan kasus Jiwasraya.
“Kami perlu sampaikan disini bahwa WanaArtha Life sudah bersurat kepada Kejaksaan Agung (cq. Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus Dr. Febrie Adriansyah) dengan nomor surat 024/BDO/WAL/II/2020 tertanggal 14 Februari 2020 perihal Pengajuan Keberatan Atas Pemblokiran Sub Rekening Efek (SRE) dan Permohonan Pencabutan Perintah Pemblokiran Atas Sub Rekening Efek,” ujar dia.
- Pendapatan Asuransi Jiwa Anjlok Rp 45 T Semester I 2020
detikFinance Jumat, 25 Sep 2020 16:15 WIB
Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat total pendapatan asuransi jiwa turun Rp 45,7 triliun atau 38,7% menjadi Rp 72,57 triliun dari sebelumnya Rp 118,3 triliun.
Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon mengungkapkan hal ini karena menurunnya pendapatan premi industri periode semester I 2020 sebesar Rp 88,02 triliun atau minus 2,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 90,25%.
Dengan komposisi premi bisnis baru Rp 53,12 triliun minus 2,7% dibandingkan periode yang sama 2019 Rp 54,56 triliun dan premi lanjutan Rp 34,91 triliun minus 2,2%.
Budi menyebut juga terjadi penurunan pada hasil investasi sebesar -191,9% dari Rp 22,82 triliun di Semester I Tahun 2019 menjadi Rp -20,97 triliun di Semester II Tahun 2020″.
“Penurunan hasil investasi yang signifikan ini muncul akibat kondisi pasar modal Indonesia yang kurang kondusif selama Semester I 2020, yang ditandai oleh penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 22,9% selama Semester 1 2020,” kata dia dalam konferensi pers virtual, Jumat (25/9/2020).
Dia menyebut kinerja investasi dalam industri asuransi sangat dipengaruhi oleh portofolio investasi yang terkait dengan ekonomi makro termasuk pasar modal.
Untuk Klaim dan Manfaat yang dibayarkan juga terjadi penurunan sebesar 1,90% dari Rp 65,77 triliun di Semester I 2019 menjadi Rp 64,52 triliun di Semester I 2020. Dimana porsi Klaim Manfaat Akhir Kontrak sebesar Rp 7,26 triliun, partial withdrawal sebesar Rp 6,07 triliun dan kesehatan sebesar -Rp 5,22 triliun.
Terkait kasus gagal bayar dalam industri asuransi jiwa, AAJI menyampaikan kembali bahwa produk saving plan sudah dikenal di industri asuransi jiwa di Indonesia sejak pertengahan tahun 90-an dan produk serupa juga ditemui di industri asuransi jiwa di banyak negara lain.
Produk saving plan merupakan salah satu alternatif pilihan dari produk-produk asuransi jiwa seperti asuransi perlindungan kecelakaan (personal accident), asuransi jiwa berjangka (term life), asuransi jiwa seumur hidup (whole life), asuransi dwiguna (endowment), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi penyakit kritis (critical illness), dan unit-link yang tersedia bagi masyarakat untuk melindungi diri dan keluarganya.
“Produk saving plan bermanfaat dengan memberikan perlindungan terhadap risiko jiwa sekaligus memberikan tambahan manfaat investasi saat akhir kontrak asuransi atau apabila terdapat penghentian pertanggungan,” jelas Budi.
Budi mengatakan produk saving plan memberikan kontribusi signifikan bagi industri asuransi jiwa, walaupun tidak semua perusahaan menjual produk tersebut. Jika terdapat persepsi atau pemahaman yang salah di masyarakat maka hal ini harus diluruskan kembali sesuai dengan regulasi yang mengatur.
Secara umum pengaturan mengenai produk asuransi dan pemasaran produk asuransi diatur dalam POJK Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi (“POJK 23/2015”) dan pengaturan lebih rinci atas POJK 23/2015 tersebut akan dituangkan dalam bentuk Surat Edaran OJK (“SE OJK”) sebagai peraturan pelaksanaan. Sepanjang perumusan produk dan pemasaran atas produk Asuransi telah sesuai dengan ketentuan yang mengatur maka tidak ada ketentuan yang dilanggar, termasuk juga dalam hal produk saving plan.
- Industri Waspadai Kenaikan Klaim Asuransi Kredit Kala Pandemi
Jakarta, CNBC Indonesia – Industri asuransi merasakan dampak pandemi dan mengalami pertumbuhan minus 6% pada H1-2020 meskipun pada Q3-2020 mulai mengalami perbaikan. Menurut Presiden Direktur Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Indra Baruna, peningkatan klaim menjadi tekanan yang harus diwaspadai terutama dari sektor asuransi kredit.
Sehingga dalam upaya menjaga keberlangsungan bisnis industri asuransi, diperlukan langkah antisipasi melalui peningkatan pengelolaan risiko dan mendorong fleksibilitas industri reasuransi. Seperti apa daya tahan asuransi umum kala pandemi? Selengkapnya saksikan dialog Aline Wiratmaja dengan Presiden Direktur Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Indra Baruna dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (Kamis, 24/09/2020)
- Simas Insurtech: Cicilan Premi Bantu Jaga Kinerja Perusahaan dan Nasabah
Bisnis.com, JAKARTA — PT Asuransi Simas Insurtech menilai bahwa program cicilan premi dapat menjadi solusi dari melemahnya kinerja asuransi umum. Selain itu, diperlukan identifikasi yang rinci terhadap produk-produk yang terdampak oleh pandemi virus corona.
Presiden Direktur Simas Insurtech Teguh Aria Djana menilai bahwa industri asuransi akan merasakan dampak dari kondisi perekonomian yang di ambang resesi. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan harus menyiapkan sejumlah strategi untuk bisa menjaga arus kas.
Penghasilan masyarakat yang menurun membuat mereka akan kesulitan membayar premi, dan hal tersebut akan berdampak kepada pendapatan perusahaan. Oleh karena itu, keringanan bagi nasabah menjadi salah satu solusi yang patut dipertimbangkan di tengah krisis.
“Harus ada upaya untuk menahan penurunan kinerja, misalnya dengan program cicilan premi. Kami baru memulainya untuk produk asuransi mobil, ini bisa meringankan para nasabah,” ujar Teguh kepada Bisnis, Kamis (24/9/2020).
Menurutnya, keringanan itu memberikan manfaat baik bagi perusahaan maupun nasabah. Perusahaan asuransi bisa tetap mendapatkan premi dan tidak kehilangan nasabah, lalu nasabah bisa tetap terproteksi saat kondisi ekonomi sedang sulit.
Teguh menjelaskan bahwa pihaknya turut mengalami hambatan kinerja karena sejumlah produk andalan menurun penjualannya. Beberapa diantaranya yakni asuransi kendaraan dan asuransi perjalanan yang seluruhnya berbasis digital.
Dia menilai bahwa perusahaan asuransi harus melakukan identifikasi kondisi bisnis dengan cepat dan komprehensif untuk menentukan strategi. Melambatnya kinerja asuransi umum sepanjang semester pertama membuat perusahaan-perusahaan asuransi harus mampu meredam dampak berkepanjangan dari pandemi Covid-19.
“Kami akan fokus pada retensi dan identifikasi produk-produk yang terdampak langsung, seperti asuransi perjalanan, dan sebagainya. Jadi harus ada produk lain yang bisa menahan penurunan kinerja, juga perluas kerja sama untuk produk yang masih bagus, seperti asuransi pengiriman untuk marketplace,” ujar Teguh.
- Klaim Tumbuh Lebih Tinggi dari Premi, Industri Reasuransi dalam Kondisi Sulit
Bisnis.com, JAKARTA — Industri reasuransi dinilai berada dalam kondisi yang penuh tantangan seiring melonjaknya klaim karena tekanan ekonomi. Industri pun dinilai perlu melakukan pendekatan yang lebih kuat dengan perusahaan asuransi agar lebih banyak premi yang terjaga di dalam negeri.
Komisaris Utama PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re) Toto Pranoto menjelaskan bahwa dampak pandemi virus corona terasa semakin luas, baik bagi industri asuransi hingga reasuransi. Arus kas industri pun menjadi lebih ketat.
Menurut Toto, sejumlah sektor usaha mulai mencatatkan peningkatan klaim yang signifikan meskipun preminya turut meningkat. Hal tersebut terjadi karena adanya kebutuhan perusahaan asuransi untuk memitigasi risiko sekaligus terjadinya peningkatan risiko yang berakibat klaim.
“Peningkatan dari sisi premi tidak diimbangi laju klaim yang jauh meningkat hingga dua tiga kali lipatnya, terutama di lini bisnis properti dan asuransi kredit,” ujar Toto kepada Bisnis, Kamis (24/9/2020).
Berdasarkan catatan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), sepanjang semester I/2020 industri reasuransi umum membukukan premi Rp10,25 triliun, naik 23,8 persen secara tahunan.
Meskipun pertumbuhan premi ada di kepala dua, pertumbuhan klaim reasuransi umum justru mencapai kepala tujuh. Pada paruh pertama tahun ini terdapat kenaikan klaim hingga Rp1,8 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Pada semester I/2020, klaim reasuransi umum tercatat senilai Rp4,37 triliun, naik 73,4 persen secara tahunan.
Reasuransi kredit tercatat sebagai lini bisnis dengan pertumbuhan premi dan klaim yang paling pesat. Namun, seperti halnya kondisi industri, pertumbuhan klaim jauh di atas perolehan preminya.
AAUI mencatat bahwa pada semester I/2020 premi reasuransi kredit mencapai Rp2,25 triliun atau tumbuh 153,7 persen (yoy) dari semester I/2019 senilai Rp 888,4 miliar. Adapun, klaim reasuransi kredit yang dibayarkan pada semester I/2020 senilai Rp1,41 triliun meroket hingga 365,3 persen (yoy) dari semester I/2019 yang ‘hanya’ senilai Rp 304,18 miliar.
Menurut Toto, kondisi tersebut memang tidak akan berlangsung seterusnya. Industri asuransi dan reasuransi akan menjadi lebih stabil setelah pandemi Covid-19 berlalu, tetapi diperlukan berbagai upaya untuk menjaga nafas dengan baik.
Dia menilai bahwa industri reasuransi harus melakukan pendekatan yang lebih baik dan kuat dengan perusahaan asuransi. Salah satu tujuannya yakni agar aliran premi di dalam negeri bisa lebih besar, karena sejauh ini terdapat premi retensi ke luar negeri dalam volume yang tidak sedikit.
“Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengenalkan produk dan fitur yang lebih baik. Kami di reasuransi ada dalam masa konsolidasi, bagaimana supaya sustainability perusahaan bisa terjaga,” ujarnya.
Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) Didit Mehta Pariadi pun menjelaskan bahwa kondisi perekonomian yang memberatkan industri asuransi akan menekan reasuransi. Industri reasuransi akan menanggung tingginya risiko asuransi saat ini.
“Reasuransi pun melihat asuransi menjadi sulit karena ingin harganya hebat, tetapi nasabah asuransi pun meminta harga premi yang murah. Asuransi jadi kesulitan karena ada permintaan dari atas [reasuransi] maupun dari bawah [nasabah],” ujar Didit.
Bisnis.com, JAKARTA — Pandemi virus corona dinilai tidak mendatangkan risiko baru bagi industri asuransi umum, tetapi justru memperbesar risiko yang sudah ada. Dalam kondisi di ambang resesi pun industri perlu mengoptimalkan potensi lini bisnis dan nasabah yang belum tergarap.
Direktur Utama PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) Didit Mehta Pariadi menjelaskan bahwa pandemi Covid-19, yang merupakan masalah kesehatan, tidak secara langsung memukul industri asuransi kerugian. Namun, perlambatan aktivitas ekonomi membuat penjualan asuransi umum ikut melorot.
Meskipun tidak terdapat risiko baru seperti halnya yang terjadi di industri asuransi jiwa, industri asuransi umum turut mengalami kontraksi karena dua lini bisnis utamanya sangat terhambat, yakni asuransi properti dan kendaraan bermotor.
“Pandemi Covid-19 ini bagi asuransi umum tidak menimbulkan risiko baru, hanya memperkuat risiko yang ada. Lini yang sudah kuat sebelumnya relatif tidak akan terlalu terganggu saat pandemi ini,” ujar Didit pada Kamis (24/9/2020).
Didit menilai bahwa sejumlah lini bisnis asuransi memiliki potensi untuk melemah selama masa pandemi, seperti asuransi pariwisata atau perjalanan, penerbangan, kendaraan bermotor, konstruksi dan infrastruktur, migas, serta keuangan yang di antaranya meliputi asuransi kredit dan penjaminan.
Meskipun begitu, terdapat sejumlah lini bisnis yang berpotensi menguat saat pandemi, seperti asuransi agribisnis, telekomunikasi, e-commerce, serta pengangkutan untuk produk-produk farmasi dan alat kesehatan.
- Kalah Lagi oleh Vietnam, Penetrasi Asuransi Indonesia Cuma 2%
SindoNews – JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan daya saing perusahaan asuransi Indonesia masih tertinggal. Jika dibandingkan di regional ASEAN, penetrasi asuransi di Indonesia masih kurang dari 2%.
“Ini masih rendah jika dibandingkan dengan penetrasi di negara ASEAN. Contoh Thailand sudah mencapai 4,99%, Malaysia 4,72%, dan Vietnam 2,24%,” kata Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi saat webinar LPPI di Jakarta, Kamis (24/9/2020). (Baca juga:Marak Impor Baja Ilegal, BUMN Diminta Periksa Pihak Kontraktor)
Dia melanjutkan, daya saing industri asuransi dan reasuransi dipengaruhi oleh dua faktor utama. Salah satunya adalah dukungan permodalan.
“Ini sebagai basis untuk menentukan kapasitas penyerapan risiko asuransi di dalam negeri,” katanya.
Namun demikian, terutama untuk konteks perusahaan asuransi profesional, khususnya mengenai reasuransi, OJK melihat masih ada gap yang cukup signifikan, baik antara jenis perusahaan tersebut ataupun dengan perusahaan asuransi komersial (asuransi umum/asuransi jiwa).
Ini menjadi salah satu faktor penting minimnya atensi risiko asuransi di dalam negeri dan tentu mengarah juga ke defisit transaksi berjalan di sektor industri asuransi. Maka dari itu, lanjut dia, OJK mendorong konsolidasi antara pelaku industri asuransi dalam rangka membentuk perusahaan reasuransi domestik dengan dukungan kapasitas yang lebih besar agar dapat menyerap risiko asuransi secara lebih optimal dan mengurangi defisit transaksi berjalan pada industri asuransi.
“Kami juga melihat bahwa kondisi krisis saat ini adalah momentum yang tepat untuk memperkuat permodalan pelaku industri asuransi, khususnya melalui konsolidasi,” jelas Riswinandi. (Baca juga:Jaksa Agung Mengaku Tak Kenal Djoko Tjandra)
Kondisi pandemi ini juga menunjukan peran penting dari pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan daya saing pelaku industri asuransi nasional. Asuransi perlu memanfaatkan teknologi digital agar bisa terus berkembang.
“Menurut kami ini krusial agar bisa membantu perusahaan asuransi dalam menjangkau calon nasabah dan dapat memberikan pelayanan optimal pada nasabah existing,” tukas dia.
Informasi ini dipersembahkan oleh LIGAYSYS – InsureTech Solution